Review Film: The Devil on Trial

Review The Devil on Trial: dokumenter ini sama sekali tidak menghadirkan fakta kuat selain dari apa yang sudah dikisahkan oleh Ed dan Lorraine Warren.

Review Film: The Devil on Trial
Jakarta, CNN Indonesia --

The Devil on Trial bisa jadi salah satu sudut pandang alternatif dalam melihat fenomena kisah-kisah paranormal yang dialami Ed dan Lorraine Warren dan kini dikenal sebagai semesta The Conjuring.

Dokumenter ini mengangkat kisah persidangan terkenal The Devil Made Me Do It pada 1981 yang juga diadaptasi menjadi bagian dalam The Conjuring 3 (2021) dengan judul serupa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara asumsi, dokumenter garapan sutradara Christopher Holt ini mestinya bisa mengambil kesempatan dengan pamor kisah film yang sudah tenar tersebut dan memberikan sudut pandang atau mempertanyakan akurasi ceritanya.

Namun nyatanya, fakta ataupun kesaksian yang diberikan dalam dokumenter ini sama sekali tidak menggoyang kesan saya akan The Conjuring 3.

Justru, saya semakin yakin saga The Conjuring memang dibuat berdasarkan kerangka fiksi, seperti yang memang selama ini dipahami banyak orang. Meski dalam strategi pemasarannya selalu disebut "berdasarkan kisah nyata", ya "berdasarkan" kan tidak berarti "sepenuhnya" bukan?

David Glatzel dalam film dokumenter The Devil on Trial (2023). (via Netflix)David Glatzel dalam film dokumenter The Devil on Trial (2023). Review The Devil on Trial: saya merasa dokumenter ini hanyalah bagian "hak jawab" dari David Gletzel sebagai korban kerasukan. (via Netflix)

Karena sebenarnya, apa yang ditayangkan oleh The Devil on Trial tidak terlalu mengejutkan, selain daripada konflik keluarga dan dugaan --sekali lagi adalah dugaan-- tindakan ilegal yang dilakukan ibunda David Gletzel sebagai biang keladi kasus kesurupan.

Artinya, dokumenter ini sama sekali tidak menghadirkan fakta kuat selain dari apa yang sudah dikisahkan oleh Ed dan Lorraine Warren dan dalam persidangan yang menyeret Arne Johnson.

Sehingga, saya merasa dokumenter ini hanyalah bagian "hak jawab" dari David Gletzel sebagai korban kerasukan pada awalnya, dan keluhan keluarga Gletzel karena tak mendapatkan untung dari cerita pasangan Warren.

Selain itu, dokumenter ini juga terasa sebagai panggung pertunjukan konflik internal keluarga Gletzel. Hal itu yang justru membuat saya makin sangsi akan keaslian cerita yang mereka utarakan dalam dokumenter ini.

Apakah cerita itu murni sebagai "hak jawab"? Atau sekalian ambil untung dari kontrak kerja sama dengan Netflix seperti yang dilakukan pasangan Warren dengan Warner Bros.? Jadi, apa fungsinya dokumenter ini?

Ya sudahlah, toh Holt juga menampilkan dokumenter yang menyenangkan untuk ditonton. Terutama, berbagai footage dan rekaman suara asli kasus tersebut yang tak banyak diketahui publik.

(L to R) David Glatzel dan Judy Glatzel dalam film dokumenter The Devil on Trial (2023). (via Netflix)Review The Devil on Trial: apa yang ditayangkan oleh The Devil on Trial tidak terlalu mengejutkan, selain daripada konflik keluarga dan dugaan --sekali lagi adalah dugaan-- tindakan ilegal yang dilakukan ibunda David Gletzel sebagai biang keladi kasus kesurupan. (via Netflix)

Selain itu, secara visual dokumenter ini juga masih bisa memberikan nilai-nilai drama yang membuat penonton bisa mengikuti ceritanya hingga akhir. Apalagi kalau bukan drama perselisihan internal keluarga.

Terlepas dari dokumenter ini yang tidak ada faktor seramnya sama sekali, The Devil on Trial mengingatkan satu hal penting dalam memandang sebuah film layar lebar.

Walaupun film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata, atau bahkan dokumenter realitas sekalipun, sebuah film tidak akan bisa menangkap secara utuh 360 derajat sisi sebuah kejadian.

[Gambas:Youtube]

Film hanya akan memotret sebagian, atau bahkan sepotong dari sebuah kejadian yang sesungguhnya terjadi. Apalagi kalau film tersebut dengan jelas memiliki dramaturgi fiksi di dalamnya, entah dalam bentuk genre apapun.

Perlu sebuah kebijaksanaan tersendiri untuk memandang sebuah film adalah sebuah karya seni, bukan sebuah laporan faktual. Sehingga mungkin, suatu saat nanti, sebuah film bisa benar-benar diapresiasi karena keseniannya, bukan persoalan benar atau tidak.

(end)