Review Film: Sijjin

Review film: Sijjin membuktikan Indonesia masih lebih lihai dalam menggarap genre horor, meski masih banyak catatan.

Review Film: Sijjin
Jakarta, CNN Indonesia --

Sijjin (2023) mungkin sedikit contoh film Indonesia adaptasi dari film asing yang saya anggap lebih baik dibanding versi aslinya, baik secara penggarapan cerita maupun produksi.

Semula, saya agak skeptis ketika muncul gagasan film horor asal Turki, Siccin (2014), akan diadaptasi menjadi film Indonesia di bawah bendera Rapi Film dan naskahnya akan digarap Lele Laila yang pernah menulis KKN Di Desa Penari (2020).

\Memang dari segi konsep cerita, Siccin (2014) akan berpeluang cocok dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah Muslim. Namun bagi saya, Siccin tidak sebagus itu sampai layak diadaptasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasannya sederhana, cerita Siccin bagi saya aneh, alur narasinya kasar, dan menuntut saya butuh berpikir ekstra dalam memahami logika ceritanya.

Siccin mengisahkan orang yang main dukun untuk cerita cinta antar sepupu yang masih sedarah, dan respons saya waktu itu cuma: "what the hell??". Namun mengingat konon Siccin dari kisah nyata, jadi ya sudah lah.

Rupanya ketika saya melihat Sijjin, Lele Laila lebih lihai dalam meracik cerita kisahnya dibanding versi Turki. Termasuk, saya merasa penggarapan ceritanya lebih baik dibanding KKN Di Desa Penari ataupun semesta Danur yang pernah ia garap sebelumnya.

[Gambas:Video CNN]

Saya mengapresiasi perkembangan Lele Laila dalam menggarap film horor, meskipun gaya-gaya sinetron masih belum bisa lepas seperti terlihat dari drama-drama antar karakter di dalamnya.

Usaha Lele untuk melokalkan cerita dengan menaruh latar di sekitar Pandeglang dan menggunakan bahasa daerah bagi saya bisa jadi pembeda yang unik dari versi Turki.

Namun ada beberapa hal yang bagi saya masih mengganjal dalam penyusunan cerita Sijjin dari versi aslinya. Pertama, latar cerita. Siccin harus saya akui lebih memudahkan penonton untuk memahami kapan cerita terjadi dan bagaimana lima hari horor itu berjalan.

Sementara dalam Sijjin, tampaknya Lele dan sutradara Hadrah Daeng Ratu memilih menuntut penonton menebak kapan cerita terjadi hanya dari desain rupiah, jenis ponsel, dan baju para pemeran.

Selain itu, titel adaptasi yang dibawa dalam film ini tampaknya lebih terasa memindahkan cerita berlatar Turki ke lokasi di Indonesia. Tak banyak perkembangan cerita atau perubahan cerita yang terjadi di Sijjin.

Sijjin (2023) diadaptasi dari film Turki, Siccin (2014).Review filmSijjin (2023): Usaha LeleLaila untuk melokalkan cerita dengan menaruh latar di sekitar Pandeglang dan menggunakan bahasa daerah bagi saya bisa jadi pembeda yang unik dari versi Turki. (dok. Rapi Films via IMDb)

Saya memahami mungkin itu ada kaitannya dengan perjanjian bisnis lisensi Siccin. Namun rasanya agak hambar melihat babak-babak cerita dan pengadeganannya nyaris mirip antara Sijjin dan Siccin, terutama pada bagian awal-awal.

Hal itu membuat saya merasa Lele hanya bertugas memoles cerita Siccin yang kasar, dan menambal "plot hole" dari film aslinya sehingga bisa lebih logis disampaikan ke penonton. Sehingga, Sijjin lebih seperti menggarap ulang, bukan mengadaptasi.

Saya sebenarnya penasaran bagaimana inti cerita Siccin benar-benar disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, tanpa harus terpaku pakem-pakem film aslinya.

Kedua, teror dan kemistisan. Ada beberapa teror dalam Siccin yang bagi saya on point dan sungguh membuat merinding, plus jijik. Salah satunya adalah adegan hantu ibunda Kudret atau Galang (Ibrahim Risyad) dalam versi Indonesia.

Pada versi Turki, hantu itu meneror dengan makan kotoran dari toilet. Sementara di versi Indonesia, hanya diadegankan dengan lebih sederhana. Bagi saya, adegan dalam versi Turki jauh memberikan efek ke penonton dan menguatkan teror dalam film ini.

Kemudian, penggunaan kerbau sebagai bagian dari ritual dalam versi Indonesia. Dalam versi Turki, hewan yang digunakan adalah babi.

Saya rasa bukan sembarangan Siccin memilih babi sebagai bahan ritual dalam cerita. Selain karena mungkin tak banyak kerbau di Turki, babi yang dengan jelas diharamkan dalam Al-Qur'an bisa menegaskan posisi dukun yang bersekutu dengan jin.

Sementara itu, ritual di Indonesia lebih akrab dengan kerbau ataupun kambing. Atau mungkin memang pihak tim kreatif dan studio memilih untuk bermain aman dengan memilih hewan yang lebih banyak ditemukan di tengah masyarakat Indonesia.

Sijjin (2023) diadaptasi dari film Turki, Siccin (2014).Review film Sijjin (2023):tidak ada komentar apapun terhadap performa para pemain selain daripada masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar kuat dari aksi mereka. (dok. Rapi Films via IMDb)

Selain itu, dialog berisi penjelasan soal sijjin sendiri rasanya masih mengambang dengan sejumlah dialog yang hanya diulang-ulang tanpa makna berarti, serta kaitannya dengan cerita utama. Hal ini cukup krusial lantaran dari kisah aslinya juga tidak cukup jelas.

Saya tidak memiliki komentar apapun terhadap performa para pemain selain daripada saya masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar kuat dari aksi mereka. Performa kuat justru terlihat dari tim tata rias, efek visual, dan desain produksi yang susah payah mencari properti lawas.

Terlepas dari segala perbedaan dan preferensi terkait Sijjin, film ini membuktikan Indonesia masih lebih lihai dalam menggarap genre horor. Hanya saja, industri film Indonesia juga mestinya lebih percaya diri untuk mengangkat potensi dan folklor lokal yang saya yakin masih belum tergali optimal.

[Gambas:Youtube]