Review Film: Smile

Review Smile (2022): film yang menawarkan begitu banyak ketidaknyamanan tapi sangat menarik untuk terus ditonton secara bersamaan.

Review Film: Smile
Jakarta, CNN Indonesia --

Smile merupakan tayangan tahun ini yang bisa membuat pencinta film horor sedikit bernostalgia dengan film-film horor lawas, seperti The Ring atau Drag Me To Hell.

Tone warna, plot minim kejutan yang biasanya dipakai film horor 2000-an, dihidupkan kembali dalam film Smile.

Ada adegan-adegan yang saya harapkan bisa diperdalam di pertengahan film atau menjadi plot twist di akhir cerita, tapi Smile memilih tidak mewujudkan angan saya.

Namun, saya sebagai penonton masih sangat bisa menikmati ketidaknyamanan dari teror yang diberikan film berdurasi 115 menit tersebut.

Teror diberikan lewat jump scare dan adegan gore bertubi-tubi. Namun, sebagian besar kengerian tidak ditampilkan lewat keberadaan hantu, setan, atau monster, melainkan hal-hal keseharian, seperti bunyi telepon.

Oleh sebab itu, film ini tidak dianjurkan disaksikan oleh orang yang memiliki permasalahan jantung.

Penonton semacam diberikan kode bahwa detik-detik jump scare tersebut akan muncul. Namun, jump scare itu malah muncul pada saat yang lain.

Hal itu lah yang kemudian membuat saya sebagai penonton semakin merasa tidak nyaman menantikan jump scare itu muncul.

Tak hanya itu, rasa tidak nyaman tersebut juga diperkuat dengan backsound serta sound effect yang benar-benar mengganggu.

Film horor Smile (2022)Review film horor Smile (2022) beberapa jump scare yang diberikan sangat mungkin ditemukan di kehidupan nyata. Foto: (Paramount Players via IMDb)

Rasa takut atau seram itu sendiri muncul bukan dari jump scare yang diberikan, melainkan dari hal-hal yang sesungguhnya sangat bisa mungkin terjadi, seperti melihat sosok yang dikenal tapi sesungguhnya tidak ada.

Kondisi tersebut yang membuat karakter utama dan penonton bermain dengan pikiran mengenai kondisi yang terjadi.

Smile sejatinya mengisahkan psikiater Rose Cotter (Sosie Bacon) yang menjadi saksi pasiennya bunuh diri. Tanpa ia sadari, hal itu benar-benar mengubah kehidupannya, termasuk memperkuat trauma masa lalu.

[Gambas:Video CNN]

Rose sejatinya menggambarkan kondisi banyak orang di dunia nyata, yaitu mereka yang mengalihkan mimpi buruk atau trauma dengan kerja, atau mereka yang pura-pura empati, hingga mereka yang frustrasi untuk bisa dipercaya bukan untuk dinilai gila.

Sementara itu, lewat karakter Smile lainnya, penonton diingatkan bahwa pertolongan bisa datang dari siapa saja. Termasuk, dari seseorang yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Film horor Smile (2022)Review film horor Smile (2022) menilai karakter Rose merepresentasikan kondisi banyak orang di dunia nyata. Foto: (Paramount Players via IMDb)

Oleh sebab itu, benar rasanya omongan sang sutradara sekaligus penulis, Parker Finn, bahwa Smile bisa terhubung dengan penonton, tergantung mau menitikberatkannya pada hal yang mana.

Pada akhirnya, Smile merupakan film yang secara gamblang memberikan pesan sulitnya dan butuh keberanian untuk menghadapi kecemasan atau trauma masa lalu.

Smile merupakan kelanjutan sekaligus pengembangan dari film pendek bertajuk Laura Hasn't Slept (2020) yang dibintangi Caitlin Stasey. Dalam Smile, Stasey hadir sebagai Laura, pasien dari Rose.

Smile masih tayang di beberapa bioskop di Indonesia.

Gif banner Allo Bank
(chri)