Menilik Kelompok Teror ”KTJ” di Indonesia

Serangan tiga terduga teroris asal Uzbekistan yang menewaskan seorang petugas imigrasi mengejutkan publik. Muncul pertanyaan soal kehadiran jejaring teroris "KTJ" di Tanah Air.

Terduga teroris di Lampung terkait kasus Bom Bali 1 dan Poso.
KOMPAS

Terduga teroris di Lampung terkait kasus Bom Bali 1 dan Poso.

Pada 24 Maret 2023, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap empat warga negara asing Uzbekistan, yakni BA alias JF (32), OMM alias IM (28), BKA (40), dan MR (26). Mereka diduga anggota kelompok jaringan teroris Katiba Tawhid Wal Jihad (KTJ). Mereka kemudian dititipkan di Kantor Imigrasi Jakarta Utara dalam rangka menunggu proses deportasi ke negara asal.

Pada Senin (10/4/2023) dini hari, tiga orang di antara mereka menjebol plafon untuk kabur dan menyerang petugas imigrasi dan petugas Densus 88 yang berjaga. Seorang petugas imigrasi tewas serta tiga petugas imigrasi dan seorang petugas Densus 88 terluka. Peristiwa itu mengingatkan kita, Indonesia menjadi tempat operasi jaringan terorisme internasional.

KTJ terasa asing. Sementara selama ini organisasi teror yang pernah diungkap di Indonesia antara lain Jamaah Islamiyah (JI), Daulah Islamiyah Nusantara, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Dari empat orang yang ditahan di Imigrasi Jakut itu, tiga orang adalah anggota KTJ yang beraktivitas di wilayah Timur Tengah, khususnya Suriah. Sementara satu orang lainnya berperan sebagai penyedia keuangan dan pembuatan dokumen palsu.

Di Indonesia, mereka diduga terlibat dalam aktivitas terorisme melalui propaganda di berbagai platform media sosial. Tak hanya itu, mereka juga berupaya mencari orang-orang yang punya pemahaman yang sama dengan mereka di Indonesia dalam rangka melaksanakan aksi teror.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan (tengah) bersama Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar (kanan) menunjukkan gambar barang bukti yang disita petugas dalam penangkapan enam tersangka teroris di Lampung, Kamis (13/4/2023).
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan (tengah) bersama Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar (kanan) menunjukkan gambar barang bukti yang disita petugas dalam penangkapan enam tersangka teroris di Lampung, Kamis (13/4/2023).

Terkait KTJ, laman Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, KTJ sebelumnya dikenal sebagai Jannat Oshiklari. KTJ merupakan organisasi teroris di bawah organisasi teroris internasional Al-Nusrah yang merupakan cabang Al Qaeda. Organisasi itu beroperasi di Suriah, dengan jumlah anggota sekitar 500 orang. KTJ disebut sebagai kelompok yang jadi dalang penyerangan Kedutaan Besar China di Bishkek, Kirgistan, Agustus 2016, sehingga melukai tiga orang.

Sementara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melalui pernyataan pers pada Maret 2022 menyatakan, KTJ ditetapkan sebagai organisasi teror global bertujuan khusus. Organisasi tersebut bertanggung jawab terhadap serangan bom dalam kereta metro di St Petersburg, Rusia, pada April 2017, yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka.

Dalam keterangan pers, Selasa (11/4/2023), Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar mengatakan, penyidik masih mendalami kemungkinan adanya komunikasi atau respons dari orang Indonesia terhadap propaganda yang dilakukan empat WNA asal Uzbekistan itu. Yang pasti, mereka berkeinginan merekrut atau mencari orang yang bersedia melakukan serangan teror di Indonesia.

”Ini masih menjadi informasi yang dikecualikan (untuk dibuka ke publik) karena masih menjadi bagian dari penyelidikan dan penyidikan,” kata Aswin.

Baca juga: 3 WNA Kasus Terorisme Serang Petugas, Satu Meninggal

Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Komisaris Besar Aswin Siregar
KOMPAS/ERIKA KURNIA

Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Komisaris Besar Aswin Siregar

Bukan organisasi baru

Pengajar Departemen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh, dalam artikel berjudul ”Jamaah Tawhid Wal Jihad: Kelompok Teroris yang Terang-terangan dan Terbuka” menuliskan, KTJ atau Jamaah Tawhid Wal Jihad adalah kelompok militan yang didirikan di Irak pada awal 2000-an oleh Abu Musab al-Zarqawi. Pada 2004, kelompok itu berganti nama menjadi Al Qaeda di Irak dan kemudian pada 2013 berganti nama menjadi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).

”Organisasi itu ada jauh sebelum ISIS ada. Kemudian, organisasi itu sampai di Indonesia sekitar tahun 2011 yang kemudian dipimpin Aman Abdurrahman. Di Indonesia, Tawhid Wal Jihad itu berubah nama menjadi JAD. Jadi, ini asal-usul JAD di Indonesia,” ujar Al Chaidar ketika dihubungi pada Jumat (14/3/2023).

Di sisi lain, lanjut Al Chaidar, Tawhid Wal Jihad juga menyebar ke wilayah Asia Tengah, seperti Uzbekistan, Tajikistan, termasuk Suriah dan Turki. Pada 2013 itulah organisasi yang sebelumnya berafiliasi dengan Al Qaeda itu memisahkan diri dan mendirikan NIIS.

Menurut Al Chaidar, KTJ pada saat itu tak berkembang di Indonesia karena kepemimpinan organisasi tersebut tidak jelas. Selain itu, komunikasi di antara beberapa kelompok mereka yang tersebar di beberapa negara sangat terbatas. Di sisi lain, mereka juga banyak dikejar oleh pemerintah di banyak negara.

Dari kiri ke kanan, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Karlina Supelli, akademisi UIN Syarif Hidayatullah Sholehudin A Aziz, pengamat terorisme Al Chaidar, dan Direktur Imparsial Al Araf.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari kiri ke kanan, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Karlina Supelli, akademisi UIN Syarif Hidayatullah Sholehudin A Aziz, pengamat terorisme Al Chaidar, dan Direktur Imparsial Al Araf.

Terkait penangkapan empat WNA asal Uzbekistan oleh Densus 88 Antiteror Polri, menurut Al Chaidar, mereka mesti diperlakukan dengan hati-hati dan keamanan tinggi. Sebab, organisasi tersebut terkenal brutal sekaligus militan di negara asalnya. Jika menemukan kelengahan petugas, mereka akan memanfaatkannya sebagaimana terjadi pada peristiwa penyerangan terhadap petugas dalam upaya melarikan diri.

Menurut Al Chaidar, kedatangan keempat orang tersebut ke Indonesia memang dengan maksud untuk memperluas wilayah. ”Mereka menganggap JAD sudah tidak efektif sehingga mereka datang kemari untuk menyebarkan paham Tawhid Wal Jihad,” ungkap Al Chaidar.

Visiting Fellow S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University Singapura, Noor Huda Ismail, mengatakan, keterkaitan Indonesia dalam terorisme global sudah lama terjadi. Peristiwa Bom Bali 1 dan 2 terkait erat dengan organisasi teror internasional Al Qaeda. Saat itu, sebelum aksi teror dilakukan, Al Qaeda mengirimkan orangnya datang ke Indonesia dan melakukan survei, seperti mengambil video kantor Kedutaan Besar AS di Jakarta dan mengunjungi beberapa lokasi di Poso, Ambon, serta Aceh.

Sebagai contoh, Azahari yang jadi otak berbagai pengeboman di Indonesia berkebangsaan Malaysia. Demikian pula Noordin M Top yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai serangan teror di Indonesia, juga warga negara Malaysia.

”Jadi, sejak dulu memang sudah ada upaya dari organisasi teror dari negara lain untuk memperluas atau memperlebar wilayah jihadnya di Indonesia,” kata Huda.

imageKembali ke Titik, Noor Huda Ismail, berbicara dalam acara pemutaran film tersebut, Jumat (7/4/2023), di Yogyakarta. Film Kembali ke Titik berkisah tentang perjalanan hidup Hadi Masykur, eks anggota organisasi teroris Jamaah Islamiyah yang telah mengalami deradikalisasi." height="683" loading="lazy" sizes="(max-width:1280px) 1280px, (max-width:720px) 720px, (max-width:1024px) 1024px, (max-width:5184px) 5184px, (max-width:676px) 676px, (max-width:160px) 160px, (max-width:300px) 300px, (max-width:480px) 480px" src="https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ohp4JAzOFzUVQ21Gg8h4b1N28MU=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg" srcset="https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/sM2KO8HaF3P2CYGQe9uTQTQJaHo=/1280x853/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 1280w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/pDdVzu_hFWcN7r-0TmNPQ68tUlU=/720x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 720w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ohp4JAzOFzUVQ21Gg8h4b1N28MU=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 1024w, https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/04/09/6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 5184w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/LMIbd5Bmpxu3AgnJdof3fu17YOU=/676x451/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 676w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/arCjWLbQJY7_pqgr_os1jDzsTyA=/160x160/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 160w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/QuH6iIfLttARyHLfuEe40Bug9cI=/300x200/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 300w, https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/5-sS_RC9T67AxmqU8WCb-914xbM=/480x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F09%2F6723c13b-6f23-417e-a255-e07fe1639803_jpg.jpg 480w" width="1024" data-v-30ab5665>
KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Produser film dokumenter Kembali ke Titik, Noor Huda Ismail, berbicara dalam acara pemutaran film tersebut, Jumat (7/4/2023), di Yogyakarta. Film Kembali ke Titik berkisah tentang perjalanan hidup Hadi Masykur, eks anggota organisasi teroris Jamaah Islamiyah yang telah mengalami deradikalisasi.

Menurut Huda, terdapat fenomena terorisme yang bernuansa pemberontakan dengan dikaitkan pada agama. Terorisme semacam itu bisa meluas atau lintas negara atas nama solidaritas, termasuk dari orang atau kelompok teror yang sebelumnya sama sekali tidak terkait. Fenomena itu bisa terjadi karena medsos, khususnya Telegram.

Pelibatan pihak asing atau orang dari kebangsaan berbeda itu, kata Huda, muncul setelah adanya provokasi di medsos. ”Jadi, dari sejarahnya, komunikasi mereka itu bersifat cair, yakni kenal dan berhubungan lewat akun Telegram. Maka, pola perluasan itu bukan hal baru meski bagi saya asal negara empat WNA itu, yakni Uzbekistan, termasuk baru,” ujar Huda.