Mengintip Sejarah Industri Film Eksploitasi Indonesia

Ilustrasi
YOHANES KRISNAWAN

Ilustrasi

Permasalahan kajian historis perkembangan sinema Indonesia masih menjadi momok bagi para akademisi, selain karena budaya pengarsipan kita yang hampir tidak mendapat dukungan dari publik dan pemerintah. Kalaupun ada akademisi yang menulis tentang sejarah perkembangan sinema Indonesia, kebanyakan hanya menulis tentang film-film ”mahakarya” yang menjadi kanon sinema Indonesia. Umumnya film-film ini memiliki unsur artistik yang tinggi dan elite atau apa yang orang Barat sebut dengan karya highbrow, yang dianggap sebagai pencapaian artistik tinggi dalam sejarah sinema Indonesia.

Di sinilah buku yang ditulis oleh Ekky Imanjaya memiliki peran penting dalam upaya menambah wawasan budaya sinema bangsa, karena Ekky dalam buku ini keluar dari tendensi akademisi di atas dan blusukan ke dalam sinema eksploitasi yang dianggap ”rendah”, tetapi pada saat bersamaan bersifat populis dan egaliter.

Dalam buku terjemahan dari disertasi strata tiganya, The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema, ini Ekky melihat bagaimana kebijakan-kebijakan restriktif Orde Baru yang bertujuan untuk membuat film yang lebih ”ketimuran” dan sesuai dengan narasi pemerintah Soeharto malah membuat kebangkitan industri sinema yang berbanding terbalik dari cita-cita rezim saat itu. Ekky mendekati permasalahan fenomena ini dengan menggunakan pendekatan historiografi yang komprehensif dengan mengangkat hal-hal mulai dari undang-undang, data distribusi film eksploitasi Indonesia, hingga budaya layar tancap di desa.

Data yang Ekky sajikan dalam buku ini cukup menakjubkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Data yang Ekky sajikan dalam buku ini cukup menakjubkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Betapa tidak, setiap bab dipenuhi berbagai macam data yang berbeda, mulai dari kutipan pakar hingga kutipan kritikus, yang membuat setiap bab menjadi kluster padat informasi tentang historiografi sinema eksploitasi Indonesia. Hal ini membuat aktivitas membaca setiap bab layaknya petualangan yang membawa pembaca menuju lubang dalam sinema eksploitasi di Indonesia.

Selain itu, gaya penulisan Ekky dalam buku ini juga sangat mudah dipahami, bahkan untuk pembaca yang tidak mempunyai atau baru belajar tentang kajian sinema Indonesia. Hal yang cukup mengagumkan mengingat bahwa buku ini merupakan adaptasi dari karya disertasi yang biasanya rumit dan penuh dengan istilah asing. Akan tetapi, dalam buku ini, walaupun setiap bab penuh dengan data dan kutipan, Ekky mampu mengolahnya sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah bacaan yang tidak membuat pembaca kelimpungan, tetapi tidak mengorbankan kualitas sumber-sumber yang diangkat.

Analisis kritis

Namun, ada sedikit catatan, yaitu soal kuantitas data yang menjadi kelebihan buku ini tidak dijabarkan secara lebih mendalam dengan argumen kritis Ekky sendiri. Ketika kita menemukan analisis kritis dari Ekky, analisis tersebut tidak sekomprehensif dibandingkan data yang mendahuluinya dan malah lebih terkesan deskriptif dan hanya merupakan penjabaran ulang dari data yang ada. Analisis yang kurang kritis ini malah membuat data yang banyak dan berkualitas tersebut terkesan sia-sia karena tidak ada poin yang baru dan menarik dari data tersebut.

Selain itu, relasi antarbab seakan tidak memiliki kontinuitas sama sekali dan bahkan jika ada relasi antarbab sangatlah tipis dan tidak terlalu konsekuensial. Seperti di bab dua, Ekky menulis satu bab penuh tentang layar tancap dan budaya penonton, tetapi di bab selanjutnya budaya layar tancap ini hampir tidak disebut atau dihubungkan dengan data atau argumen lain yang membuat analisis menarik tentang budaya menonton lokal menjadi tidak terlalu penting dalam buku ini. Kelanjutan antarbab yang hampir tidak ada membuat pengalaman membaca buku ini lebih terasa sebagai kumpulan episode yang tidak memiliki hubungan satu sama lain dan hanya mengaburkan visi besar buku ini.

Warga memadati lapangan tempat berlangsungnya festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga memadati lapangan tempat berlangsungnya festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023).

Buku ini juga memiliki masalah dengan ilustrasi gambar poster-poster film yang ditampilkan. Setiap gambar yang ditampilkan di buku ini memiliki resolusi kurang bagus sehingga kita bahkan bisa melihat piksel gambar tersebut. Resolusi gambar yang kurang jelas ini sangat disayangkan mengingat kualitas penelitian profesional ini tidak dibarengi kualitas cetakan yang bagus.

Buku The Real Guilty Pleasures: Menimbang Ulang Sinema Eksploitasi Transnasional Orde Baru dari Ekky Imanjaya merupakan buku yang bisa menjadi salah satu sumber primer dalam upaya kajian sejarah sinema Indonesia. Dengan jumlah sumber yang besar dan berkualitas serta gaya penulisan yang mudah dipahami, buku ini menjadi buku yang menarik untuk mengkaji perkembangan industri sinema Indonesia di masa Orde Baru. Namun, minimnya analisis kritis dari Ekky dan kelanjutan antarbab yang hampir tidak ada membuat buku ini terasa seperti buku kumpulan data sejarah yang minim akan argumen-argumen baru dan menarik untuk pembaca.

Resolusi gambar yang kurang bagus juga membuat kualitas cetakan buku ini tidak sebanding dengan kualitas isi buku yang dibuat oleh seseorang yang merupakan pakar di bidangnya. Akan tetapi, di luar itu semua, buku ini patut dimiliki oleh mereka yang tertarik untuk belajar lebih jauh tentang perkembangan industri sinema negara ini yang masih sangat relevan hingga sekarang, khususnya terkait dengan film-film eksploitasi.

Baca juga: Memahami Revolusi Kemerdekaan dengan Perspektif Kritis

Alvian Dharma, lulusan Prodi Film Binus University, mendalami kajian sinema, penulis di Festival Film Arkipel dan zine 1080p.

Data Buku

Judul buku: The Real Guilty Pleasures: Menimbang Ulang Sinema Eksploitasi Transnasional Orde Baru

Penulis: Ekky Imanjaya, PhD

Penerbit: PT Widia Inovasi Nusantara (Binus Publishing)

Tahun terbit: Cetakan I, Oktober 2022

Tebal buku: 1 jil, 295 halaman

ISBN: 978-602-1138-72-4