Lawan Teror dan Intimidasi dengan Pendidikan Politik yang Konsisten

BREAKINGNEWS.CO.ID - Jelang berlangsungnya pemilihan umum (Pemilu) pada 17 April 2019 mendatang, teror dan intimidasi politik diyakini rentan terjadi. Untuk itu, himbauan untuk melawan hal itu terus berdatangan dari berbagai kalangan.

Lawan Teror dan Intimidasi dengan Pendidikan Politik yang Konsisten

BREAKINGNEWS.CO.ID - Jelang berlangsungnya pemilihan umum (Pemilu) pada 17 April 2019 mendatang, teror dan intimidasi politik diyakini rentan terjadi. Untuk itu, himbauan untuk melawan hal itu terus berdatangan dari berbagai kalangan.

Pakar Politik dari Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit mengatakan bahwa teror politik ini hanya bisa dilawan dengan pendidikan politik yang konsisten. Mulai dari yang paling kecil keluarga dari orang tua kepada anak, di sekolah dari guru kepada murid, di kampus dari dosen kepada mahasiswa, serta dalam organisasi dari ketua kepada anggota.

Bagi Arbi, demokrasi Indonesia dalam posisi dilematis dan terbelakang. Di satu sisi memang harus diakui bahwa kodrat demokrasi adalah strategi dengan manipulasi dalam menyajikan pilihan kepada masyarakat.

"Manipulasi itu misalnya, menunjukkan yang satu baik sekali dan yang satunya sangat tidak baik. Dalam politik elektoral itu wajar," jelas Arbi dalam diskusi yang mengusung tema "Selamatkan Demokrasi, Melawan Segala Bentuk Intimidasi Politik" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/3/2019).

Namun di sisi lain, lanjut Arbi, yang muncul justru memberi ketakutan pada masyarakat. Publik tak diberikan kesempatan untuk memilih mana yang benar-benar baik dan mana yang tidak.

"Dalam posisi ini, bisa dikatakan terjadi teror, karena masyarakat dikasih pilihan yang semuanya tidak baik. Ini teror dalam demokrasi karena masyarakat tak diberi kesempatan memilih sehingga bisa memicu golput," tegasnya.

Demokrasi Indonesia, jelas Arbi Sanit, masih dalam posisi terbelakang. Banyak memakai terminologi keyakinan berbau SARA untuk mencapai tujuan.

"Misalnya istilah perang total dan perang badar. Ini berbahaya karena bisa menimbulkan kebenxlcian dan permusuha yang akut," tukas Arbi.

Adapun Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta menjelaskan dua sebab adanya intimidasi dan teror dalam Pemilu 2019. Pertama, karena memang ada orang atau kelompok yang mempunyai paham radikal. Kedua, karena memang ada pihak yang menggunakan teror dan intimidasi sebagai strategi memenangkan Pemilu 2019.

"Intimidasi dan teror digunakan sebagai alat untuk meraih tujuan politik. Intimidasi dan teror tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara psikis yang menggunakan narasi-narasi yang membuat target ketakutan sehingga mau mengikuti keinginan intimidator," paparnya.

Dalam konteks Pemilu 2019, Stanislaus mengatakan intimidasi dan teror mempunyai dua tujuan, pertama untuk memenangkan pihak intimidator dengan menggalang target suara, yang kedua membuat pendukung lawan politik golput atau tidak ikut memberikan hak suara.

"Intimidasi dan teror harus dilawan. Pembiaran atas hal tersebut akan merusak demokrasi Indonesia. Selain itu negara harus hadir dan bertindak tegas jika terjadi intimidasi dan teror dalam Pemilu 2019," pungkasnya.