Di Balik Film ”Barbie”

Strategi Barbie ini telah terbukti menjadi cara yang lebih menarik dan mungkin lebih hemat biaya untuk memasarkan produk melalui pembelanjaan media tradisional ketimbang cara-cara berbasis teknologi.

Aktris Australia pemeran Barbie, Margot Robbie, memberikan tanda tangan kepada sejumlah penggemar saat promosi film yang dibintanginya di Seoul, Korea Selatan, Minggu (2/7/2023) .
AP PHOTO/AHN YOUNG-JOON

Aktris Australia pemeran Barbie, Margot Robbie, memberikan tanda tangan kepada sejumlah penggemar saat promosi film yang dibintanginya di Seoul, Korea Selatan, Minggu (2/7/2023) .

Beberapa hari belakangan ini, apabila Anda menonton film di bioskop, Anda akan ditawari promosi film Barbie. Dalam waktu dekat film ini akan diputar. Bagi para penggemar, film ini sudah pasti akan mengharu biru mereka. Namun, mungkin hanya sedikit yang sadar bahwa dalam film ini setidaknya terdapat 100 merek dan kerja sama bisnis yang ”menempel” selama 114 menit durasi pemutaran film itu. Keberadaan merek dalam sebuah film sudah biasa. Kali ini, pemilik merek Barbie, Mattel, melangkah lebih jauh.

Beberapa hari lalu, film ini menjadi pembahasan di kalangan dunia pemasaran. Mereka bahkan menghitung berapa merek dan produk yang berada di film tersebut, mulai dari merek sepatu, kosmetik, alat kecantikan, parfum, hingga AirBnB dan mobil.

Mattel juga bekerja sama dengan organisasi sosial. Boneka yang memiliki tanggal lahir 9 Maret 1959 itu tergolong sukses mengajak aneka merek bergabung dalam film tersebut. Prinsipnya sederhana, ketika ada potensi kerumunan, merek akan ikut terlibat di dalamnya.

Bagaimana mungkin korporasi atau organisasi mau masuk atau ”menempelkan” merek dalam film ini? Data yang ada memastikan bahwa film ini akan menarik banyak penonton. Setidaknya berdasarkan penjualan boneka, mereka bisa yakin akan muncul kerumunan karena film ini.

Setidaknya terdapat 100 merek dan kerja sama bisnis yang ”menempel ” selama 114 menit durasi pemutaran film itu.

Boneka Barbie dijual di 150 negara. Boneka ini menempati posisi atas dalam penjualan mainan anak-anak di sejumlah negara. Di Inggris, enam boneka ini terjual setiap menit. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah satu di antara tiga negara di Asia yang menjadi tempat produksi boneka ini.

Meski ”dihuni” banyak merek, Mattel tidak begitu saja menempelkan dan meloloskan merek di film tersebut. Mereka tidak lagi sekadar menghadirkan merek-merek atau kerja sama dalam film itu.

Model boneka Barbie pada foto yang dirilis Mattel, 28 Januari 2016.
REUTERS/MATTEL

Model boneka Barbie pada foto yang dirilis Mattel, 28 Januari 2016.

Cara-cara sekadar menempelkan merek di dalam film disebut sudah ketinggalan alias kuno. Bisa saja nama produk atau logo tiba-tiba lewat di dalam film tersebut. Sekali lagi, cara seperti ini sudah ditinggalkan. Produk-produk berlisensi banyak masuk dalam film-film besar. Mereka akan memanfaatkan film untuk menarik orang agar mau melihat dan membeli produk mereka. Kehadiran yang mencolok dengan mudah tertangkap secara visual oleh penonton.

”Akan tetapi, penautan produk di dalam film Barbie ini jauh lebih holistik dari itu,” kata Ben Roberts dari majalah License Global kepada The Guardian. Produk berlisensi tidak hanya ditautkan ke film, tetapi juga dihadirkan sebagai bagian dari siklus hidup merek.

Produk digunakan secara natural dalam film itu dan menjadi bagian dalam cerita di film itu. Orang mungkin tidak akan merasa ketika produk yang muncul di film adalah bagian dari pemasaran. Tim Mattel dan tim dari pemilik merek tentu melakukan kurasi mendalam sehingga produk hadir tidak asal-asalan.

Produk digunakan secara natural dalam film itu dan menjadi bagian dalam cerita di film tersebut. Orang mungkin tidak akan merasa ketika produk yang muncul di film adalah bagian dari pemasaran.

Tantangan lainnya adalah Barbie yang sudah berumur 64 tahun memiliki daya jangkau generasi penggemar yang sangat luas, mulai dari para kakek-nenek sampai para cucu. Roberts mengatakan, kabarnya Mattel sangat berhati-hati untuk menciptakan ”titik sentuh pertemuan antargenerasi” dalam menghadirkan produk-produk dalam film tersebut.

Harapannya, berapa pun usia penonton, mereka dapat terlibat dengan merek dengan cara masing-masing. Merek diharapkan tidak kehilangan komunikasi dengan berbagai generasi.

Baca juga: Individu di Dalam Bisnis

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/v7NAWZLg9QNTGPT-m1B6vxLKofo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F29%2F8307f654-9c29-437d-840c-67958c305c9d_jpg.jpg

Kesadaran ini menjadi sangat penting karena setidaknya antara generasi Y dan Z benar-benar telah tenggelam dalam beragam media saat mereka tumbuh dewasa dan telah matang menjadi penggemar berbagai produk yang sesuai untuk mereka.

Alasan lainnya, dari sudut pandang pembuat film, menghadirkan produk juga semakin penting dalam menjamin profitabilitas film secara keseluruhan. Pembiayaan film yang makin mahal menjadi alasan mereka mengajak merek masuk ke dalam film.

Di sisi lain, film-film yang kurang dapat diprediksi nasibnya dalam pemasaran akan lebih aman ketika mereka sudah mendapat pemasukan dari produk-produk yang hadir dalam film. Akan tetapi, prinsip ini mungkin tidak berlaku bagi film Barbie yang sudah dipastikan memiliki penggemar tidak sedikit. Merek pun percaya diri berada di film itu.

Kita tentu penasaran dengan proses kerja di balik film Barbie ini. Analisis di Axios menyebutkan, sebelum film ini diluncurkan, tim humas dan pemasaran Barbie telah bekerja lembur untuk membuat kita merasa seperti hidup di dunia Barbie.

Korporasi perlu mengeksplorasi lebih jauh lagi untuk masuk ke berbagai media sehingga bisa berkomunikasi dengan audiensnya. Detail komunikasi ternyata masih bisa dicari agar efektif ke audiens.

Menjelang perilisan film Barbie baru, yang disutradarai oleh Greta Gerwig dan dibintangi oleh Margot Robbie dan Ryan Gosling, sebuah tim telah melahirkan Barbie-mania di kalangan penggemarnya melalui kampanye media sosial, pemasaran dengan melalui pengalaman langsung, dan kemitraan dengan sejumlah merek. Kerja mereka bisa dilihat dari 86.000 artikel tentang Barbie yang muncul sejak Januari lalu di berbagai media.

Orang dibikin penasaran lebih dulu sebelum bocoran film itu keluar. Mereka merasa harus menonton film tersebut. Sebuah kerja yang efisien. Pelajaran dari film ini, korporasi perlu mengeksplorasi lebih jauh lagi untuk masuk ke berbagai media sehingga bisa berkomunikasi dengan audiensnya.

Detail komunikasi ternyata masih bisa dicari agar efektif ke audiens. Strategi Barbie ini telah terbukti menjadi cara yang lebih menarik dan mungkin lebih hemat biaya untuk memasarkan produk melalui pembelanjaan media tradisional dibandingkan dengan cara-cara berbasis teknologi.