Yang Luput Dibicarakan dari Golput

Pertanyaannya, mengapa KPU merasa perlu mengimbau masyarakat untuk tidak golput?

Yang Luput Dibicarakan dari Golput
image
Jakarta -

Baru-baru ini, KPU merilis film drama komedi berjudul Kejarlah Janji yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Awalnya, ada ekspektasi bahwa film ini akan menjadi film-produksi-institusi yang berbeda karena disutradarai oleh Garin Nugroho. Namun "Kejarlah Janji" ternyata adalah iklan layanan masyarakat berdurasi 90 menit dari KPU agar masyarakat tidak golput. Meski film ini memberikan edukasi mengenai politik uang dan cara mengatasi perpecahan akibat pemilihan, tapi pesan agar pergi ke TPS di hari pemilihan sangat kental terasa.

Pertanyaannya, mengapa KPU merasa perlu mengimbau masyarakat untuk tidak golput? Hal ini tidak disampaikan secara lugas dalam filmnya, kendati message-nya disisipkan secara berulang dalam beberapa adegan. Dalam film ini, seseorang yang memutuskan untuk tidak memilih digambarkan sebagai individu yang tidak bisa mengambil keputusan dan tidak mau menyumbang suara dalam sebuah forum. Apakah realitanya seperti itu?

Asal Muasal "Golongan Putih"

Golput atau golongan putih pertama kali muncul menjelang Pemilu 197. Pada saat itu ada 10 partai yang ikut serta; Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Utama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, serta Golongan Karya-yang terus mendominasi pemilu hingga puluhan tahun berikutnya. Namun, 10 partai ini adalah partai-partai yang "diizinkan" oleh Soeharto.

Muncul ketidakpuasan dari kalangan pemuda dan aktivis, salah satunya Arief Budiman   kakak dari Soe Hok Gie   yang merasa pemilu tidak demokratis karena sejak awal diintervensi oleh pemerintah. Tidak hanya itu, para pemimpin partai bahkan telah "diseleksi" dulu oleh Soeharto. Sehingga, campur tangan pemerintah dalam pemilu amat besar.

"Bagi saya pada waktu itu, dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik. Apa gunanya pemilu kalau orang tak bebas berserikat dan berpolitik? Partai yang bisa dipilih hanyalah partai yang "disediakan" pemerintah," tulis Arief dalam bukunya yang berjudul Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005.

Arief dan kawan-kawan lantas membentuk sebuah gerakan untuk memboikot pemilu. Boikot dilakukan dengan mencoblos bagian putih dari surat suara, sehingga suaranya dihitung menjadi tidak sah. Gerakan inilah yang kemudian disebut sebagai Golongan Putih.

"Hantu Golput"

Seiring dengan berjalannya waktu, istilah golput dimaknai secara lebih luas. Siapapun yang tidak memilih   baik karena malas, alasan administratif, atau karena alasan politis-disebut sebagai golongan putih. Namun, ada narasi tunggal yang terus-menerus disematkan kepada orang yang memilih golput    oleh karena mereka menolak untuk ikut serta dalam pesta demokrasi, mereka dianggap apatis, pasif, dan tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Golput pun kerap dibingkai sebagai "hantu pemilu" yang harus diwaspadai.

Isu golput semakin kuat dibicarakan dalam Pilpres 2019, ketika Jokowi-Ma'ruf Amin bersaing dengan Prabowo-Sandi. Kala itu, banyak warga yang merasa tidak puas dengan kinerja Jokowi, tapi juga tidak mau memilih Prabowo lantaran ia memiliki track-record sebagai pelanggar HAM. Tren golput pun diperkirakan naik dan menimbulkan rasa was-was, apalagi pada Pilpres sebelumnya tahun 2014 tingkat golput mencapai 30,42 persen.

Banyak politikus akhirnya memberi anjuran untuk tidak golput, mulai dari Ridwan Kamil yang meminta milenial untuk menggunakan hak suaranya, hingga Megawati yang mengeluarkan statement bahwa mereka yang memilih golput adalah pengecut dan tidak punya harga diri. Bahkan beliau sampai mengatakan, mereka yang memilih golput "jangan jadi warga Indonesia".

Narasi di atas problematis sebab mendiskreditkan alasan politis dari mereka yang memilih golput. Pasalnya, di media tak ada satu pun narasi yang mengangkat aspek why dari naiknya tren golput. Tidak ada calon yang bertanya balik kepada warga: mengapa kalian merasa tidak punya pilihan?

Golput Bukan Berarti Pasif

Golput karena alasan ideologis    seperti tidak puas dengan calon yang ada atau tidak merasa terwakili oleh partai-partai yang ada    adalah ekspresi politik yang sah. Menggunakan hak pilih adalah hak, bukan kewajiban. Dalam UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu, yang dilarang oleh undang-undang adalah menghasut orang lain untuk golput atau menggagalkan pemungutan suara.

Ketika tren golput semakin meningkat, alangkah bijaknya jika para elit partai berefleksi terlebih dahulu. Jangan-jangan, partai politik gagal mewakili aspirasi banyak orang. Jangan-jangan, warga bosan dengan pilihan dari circle yang itu-itu saja. Jangan-jangan, warga muak melihat pencitraan para calon yang tak ada substansinya. Spekulasi-spekulasi ini tidak akan terjawab kalau why-nya tidak pernah dibicarakan. Jadi alih-alih nge-shaming anak muda yang memilih golput, cobalah berdiskusi dengan mereka dan tanya apa keresahannya.

Meski demikian, golput sebagai protes lebih baik dilakukan dengan tetap datang ke TPS dan mencoblos bagian putih. Hal ini dilakukan agar tidak ada pihak yang memanfaatkan kertas suara kosong untuk melakukan kecurangan. Ketika suara dihitung, jumlah suara tidak sah bisa menjadi statement yang lebih kuat dibandingkan dengan menolak datang ke TPS.

(ANL/tim)