Waktunya Layar Sinema untuk Semua

Antrean panjang mengular menuju studio yang memutar perdana film Jatuh Cinta Seperti di Film-film dalam gelaran hari kedua Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Sejak pembelian tiket secara daring dibuka, film ini menjadi yang diburu selain beberapa film Indonesia lainnya. Film dengan konsep hitam putih ini nyatanya memantik penasaran khalayak.

Apakah hitam putih menjadi batas sebesar itu dengan penonton. Kita coba saja. Karena ceritanya bagus banget, ya kita cobalah.

Sesaat sebelum lampu bioskop digelapkan, tak ada bangku yang tersisa. Para penonton mulai hanyut tertawa, sedih, dan galau menikmati tiap adegan yang dimainkan Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Dion Wiyoko, dan Sheila Dara Aisha. Nuansa hitam putih tetap mampu diterima untuk film drama. Begitu film usai dan lampu kembali menyala, para penonton bangkit dari tempat duduk dan bertepuk tangan riuh.

Baca juga: FFI 2023, Isu-isu Sosial yang Lebih Berbobot

”Duh, kok bisa bikin film bagus banget. Enggak terganggu hitam putih, malah bikin syahdu. Isinya juga dirangkai apik,” ucap Mita (37), salah seorang penonton, saat keluar dari studio. Hal ini sepertinya disepakati juga oleh lebih dari 500.000 orang yang telah menyaksikan sepanjang tiga pekan penayangannya.

Co-founder rumah produksi Imajinari, Ernest Prakasa, mengaku capaian angka tersebut melampaui bayangannya meski target utamanya bukan serta-merta jumlah penonton, melainkan keberanian untuk berinovasi. ”Apakah hitam putih menjadi batas sebesar itu dengan penonton. Kita coba saja. Karena ceritanya bagus banget, ya kita cobalah,” jelas Ernest.

image24 Jam Bersama Gaspar di Busan International Film Festival, Busan, Korea Selatan." height="576" loading="lazy" sizes="(max-width:1280px) 1280px, (max-width:720px) 720px, (max-width:1024px) 1024px, (max-width:3264px) 3264px, (max-width:676px) 676px, (max-width:160px) 160px, (max-width:300px) 300px, (max-width:480px) 480px" src="https://cdn-assetd.kompas.id/j4HHpgpVZAfVeBRMER_VMTrSM3Q=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg" srcset="https://cdn-assetd.kompas.id/TVCfWqIxxdeyu-v1ESnPuQGeMzA=/1280x720/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 1280w, https://cdn-assetd.kompas.id/25jhYO0TSeSRLpgO0QUYg7wVRiA=/720x405/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 720w, https://cdn-assetd.kompas.id/j4HHpgpVZAfVeBRMER_VMTrSM3Q=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 1024w, https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/10/14/f9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 3264w, https://cdn-assetd.kompas.id/gvDVUzcFOeoZ8Q1eO_Jw_r7knVQ=/676x380/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 676w, https://cdn-assetd.kompas.id/63vNN-cgY89Ok66koQJX4B2gJK8=/160x160/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 160w, https://cdn-assetd.kompas.id/8BfbdWYjnlYb-xhCXBM6hI0TOQI=/300x169/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 300w, https://cdn-assetd.kompas.id/KDm3o-dj85kx6zfyJrziLqOB1fc=/480x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F14%2Ff9bb5451-c213-4d8e-98a1-a320f509965c_jpg.jpg 480w" width="1024" data-v-30ab5665>
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Para pemain film, sutradara, dan produser berfoto bersama seusai pemutaran perdana film 24 Jam Bersama Gaspar di Busan International Film Festival, Busan, Korea Selatan.

Prediksinya tak meleset. Kekuatan cerita rupanya mampu menjadi salah satu daya tarik bagi pasar. Ini pula yang membuat Women from Rote Island (2023), 24 Jam Bersama Gaspar (2023), 13 Bom di Jakarta (2023), hingga Setan Alas (2023) dipadati para pemirsanya sepanjang JAFF 2023. Bahkan, film Indonesia berjudul Monisme (2023) menjadi juara utama Golden Hanoman Award tahun ini.

Kendati demikian, tak bisa dimungkiri juga, ada penonton yang hadir hanya demi memuaskan penasaran. Ini yang menjadi alasan film horor selalu unggul tiap hadir di bioskop. Menurut catatan filmindonesia.or.id, 10 besar jumlah penonton terbanyak sepanjang 2023 didominasi film horor.

Film-film itu antara lain Sewu Dino dengan 4,8 juta penonton, Di Ambang Kematian (3,3 juta), Waktu Maghrib (2,4 juta), Suzzanna: Malam Jumat Kliwon (2,1 juta), Sijjin (1,9 juta), dan Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul (1,6 juta).

Deretan angka ini membuat film horor pun kemudian dilabeli sebagai selera pasar dan terus diproduksi, hingga kadang lupa logika dan kualitas. Menurut sosiolog Ariel Heryanto, gagasan atau produksi film tak bisa ditumpukan hanya pada selera pasar. Meski berperan penting, pasar, atau dalam hal ini penonton, hanya salah satu unsur dari ekosistem perfilman.

Baca juga:Festival Film Dokumenter 2023 Bawa Penonton Menyusuri 42 Negara

Perbaikan ekosistem perfilman menjadi sehat, kreatif, dan etis semestinya meliputi juga pendidikan perfilman, distribusi film, sistem pengarsipan, festival film, yang nantinya berdampak pada kualitas penonton.

Berbicara festival film yang makin masif di berbagai kota, ini juga masuk menjadi bagian distribusi agar film bertemu dengan penontonnya. Keikutsertaan film Indonesia di berbagai festival prestise internasional juga babak baru bahwa karya Indonesia diakui dunia.

imageBudi Pekerti untuk wartawan di Plaza Senayan, Jakarta, Senin (30/10/2023). Film ini pertama kali diputar pada awal September 2023 di Toronto International Film Festival yang berlangsung di Toronto, Kanada. " height="576" loading="lazy" sizes="(max-width:1280px) 1280px, (max-width:720px) 720px, (max-width:1024px) 1024px, (max-width:3851px) 3851px, (max-width:676px) 676px, (max-width:160px) 160px, (max-width:300px) 300px, (max-width:480px) 480px" src="https://cdn-assetd.kompas.id/_W-u1sH-7zZ5S2e_gKr74U-wD1A=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg" srcset="https://cdn-assetd.kompas.id/l1RIYbSE_dVKW-fVx3QdET4b840=/1280x720/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 1280w, https://cdn-assetd.kompas.id/gWNkrargv6Yjl9iIPAOY1Gy_hm8=/720x405/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 720w, https://cdn-assetd.kompas.id/_W-u1sH-7zZ5S2e_gKr74U-wD1A=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 1024w, https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/10/30/f0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 3851w, https://cdn-assetd.kompas.id/hd9PV9td_DVJg5krC_UWtj_Fhdw=/676x380/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 676w, https://cdn-assetd.kompas.id/D5d0BM1l0I9psfSqPYvMdCvGnIc=/160x160/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 160w, https://cdn-assetd.kompas.id/0OA49Pw1qHKAL5lRStBD6rxZihY=/300x169/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 300w, https://cdn-assetd.kompas.id/ToFxyhjcmG8MDCsbngnt6PTOZg8=/480x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F30%2Ff0278c82-933f-46cd-a3cb-f5752d458cdd_jpg.jpg 480w" width="1024" data-v-30ab5665>
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Suasana pemutaran terbatas film Budi Pekerti untuk wartawan di Plaza Senayan, Jakarta, Senin (30/10/2023). Film ini pertama kali diputar pada awal September 2023 di Toronto International Film Festival yang berlangsung di Toronto, Kanada.

Di 2023 ini, ada Sara (2023), 24 Jam Bersama Gaspar,Women from Rote Island (2023), Ali Topan (2023), Basri & Salma in A Never Ending Comedy (2023), dan sejumlah film Indonesia lainnya di Busan International Film Festival. Ada juga Budi Pekerti (2023) yang tayang pertama kali di Toronto International Film Festival.

Dari festival juga, kesadaran pasar film yang sebetulnya majemuk mulai terbangun. Ini tampak dari kemunculan film-film tak biasa dengan ragam genre. Salah satunya film meta seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-film atau Setan Alas.

”Biasanya film meta ini lahir dari kultur film yang sudah kompleks. Apa ini menandakan kultur film kita yang sudah sedemikian canggih dari segi wacana, pelakunya, dan penontonnya?” kata pengamat film Hikmat Darmawan.

Indonesia sepertinya tengah membangun jalan ke arah sana. Selain festival film, lahirnya akademi perfilman dan komunitas di berbagai daerah untuk menetaskan para pelaku baru dengan perspektif yang berani merupakan ikhtiar lain yang dijajaki. Kerja sama para pelaku perfilman Indonesia dengan pelantar digital juga menjadi medium lain untuk memperluas jangkauan distribusi agar tak hanya fokus di Jakarta.

imageWomen from Rote Island." height="578" loading="lazy" sizes="(max-width:1280px) 1280px, (max-width:720px) 720px, (max-width:1024px) 1024px, (max-width:2340px) 2340px, (max-width:676px) 676px, (max-width:160px) 160px, (max-width:300px) 300px, (max-width:480px) 480px" src="https://cdn-assetd.kompas.id/x2ZOCbVZfPBhf_o63ofWCRGKEjg=/1024x578/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg" srcset="https://cdn-assetd.kompas.id/Ts0rzgD0FBOx_Ovx4-hQwYYHk5g=/1280x722/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 1280w, https://cdn-assetd.kompas.id/P1uUNOHtulbpS26hjqDX7WJ7m08=/720x406/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 720w, https://cdn-assetd.kompas.id/x2ZOCbVZfPBhf_o63ofWCRGKEjg=/1024x578/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 1024w, https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/12/02/54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 2340w, https://cdn-assetd.kompas.id/mvrA5II-71fxdz1BbRLwphOuOiw=/676x381/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 676w, https://cdn-assetd.kompas.id/z2zE4OJmjrEzMqrPqpVSPmxozys=/160x160/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 160w, https://cdn-assetd.kompas.id/GaSXcn3gaSVN1IT8hLOXIFy9W7k=/300x169/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 300w, https://cdn-assetd.kompas.id/ylUb8_oAeOToLb3nZrShH7jNLq8=/480x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F02%2F54fca814-146e-4efc-b747-684257a5f6de_png.jpg 480w" width="1024" data-v-30ab5665>
ARSIP BINTANG CAHAYA SINEMA

Martha ketika melarikan diri seusai mengalami pelecehan seksual dalam adegan film Women from Rote Island.

Ini juga untuk memfasilitasi film-film yang belum tembus ke bioskop atas nama selera pasar tadi. Women from Rote Island, misalnya, yang dinanti dan menang Film Cerita Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2023, tak kunjung mendapat jadwal tayang di bioskop walau telah mengajukan sejak Juli-Agustus 2023.

”Memang, kita tidak bisa mengandalkan market tunggal saja. Harus majemuk juga,” kata Hikmat.

Muatan lokal

Menyinggung kemajemukan, film bermuatan lokal tanpa disadari makin dilirik. Meski berbasis horor, Saranjana: Kota Ghaib yang berlatar belakang Kalimantan dengan bahasa Banjar diminati hingga 1 juta penonton. Meski kerap kali, horor justru memunculkan persepsi negatif terhadap suatu budaya daerah tertentu karena salah kaprah representasinya.

Walakin, ada film lain yang mampu membawa dampak positif lewat kelokalannya, seperti serial Gadis Kretek (2023) yang menghidupkan kembali tren kebaya janggan khas Yogyakarta.

Jika pertumbuhan di daerah tidak terjadi, akan terjadi ketimpangan yang hanya terjadi di pusat. Sinema harus mampu mendorong pertumbuhan di berbagai wilayah Indonesia.

Film-film pendek milik sutradara Wahyu Agung Prasetyo dan Khozy Rizal juga memikat hati dan banyak dicari, bahkan melanglang ke luar negeri dengan kelokalannya. Menariknya, mereka justru menggunakan pemain lokal dengan dialek dan pengetahuan asli mengenai daerah mereka sehingga apa yang dibawakan mengena. Tidak dijawa-jawakan, tidak dimakassar-makassarkan, tidak dipapua-papuakan.

Hikmat pun berpendapat film bermuatan lokal punya ceruk pasar tersendiri. Niche ini bisa dimanfaatkan. “Kesadaran bahwa pasar lokal ada, adalah ceruk tersendiri,” ujar Hikmat.

imageGadis Kretek." height="576" loading="lazy" sizes="(max-width:1280px) 1280px, (max-width:720px) 720px, (max-width:1024px) 1024px, (max-width:5774px) 5774px, (max-width:676px) 676px, (max-width:160px) 160px, (max-width:300px) 300px, (max-width:480px) 480px" src="https://cdn-assetd.kompas.id/3efN4VsR7N2g9p7oTcoKadpCNAg=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg" srcset="https://cdn-assetd.kompas.id/BB-f8rqWgBilYNQjjzC9WKkMrDQ=/1280x720/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 1280w, https://cdn-assetd.kompas.id/KsEhztfDa1-cRN9-tssV9M5YUHE=/720x405/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 720w, https://cdn-assetd.kompas.id/3efN4VsR7N2g9p7oTcoKadpCNAg=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 1024w, https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/11/04/89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 5774w, https://cdn-assetd.kompas.id/RkMKhoOhmplE2yiI0RgIyz5gauQ=/676x380/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 676w, https://cdn-assetd.kompas.id/QaUhApU0zfDpx7A04hWr-s95Yic=/160x160/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 160w, https://cdn-assetd.kompas.id/ExLrgTPSig90SaJqQtQz9exoCt8=/300x169/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 300w, https://cdn-assetd.kompas.id/W9-lqME76qeyBznNAT_WOR5Pf6c=/480x480/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2F89a8feb5-839b-49e8-afd1-87267ba8e7a9_jpg.jpg 480w" width="1024" data-v-30ab5665>
NETFLIX/YUYU WINNETOU

Raja (Ario Bayu) dan Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) dalam serial Gadis Kretek.

Adapun Ketua Komite Bidang Penjurian FFI 2021-2023 Garin Nugroho menilai munculnya film-film dari daerah sebagai kejutan yang menyenangkan. Film itu tak hanya lantang dan berani menyampaikan gagasannya. Mereka juga menunjukkan keterampilan teknis yang apik. Ini menjadi angin segar bahwa film mampu menampilkan dinamika Indonesia yang tak hanya berpusat di Jakarta atau Jawa.

Film-film bermuatan lokal, setidaknya yang tampak di FFI, juga menunjukkan tumbuhnya pegiat perfilman lokal di berbagai daerah. Perfilman bisa dikatakan tumbuh secara merata. Ini menandakan pertumbuhan perfilman yang matang dan sehat.

”Jika pertumbuhan di daerah tidak terjadi, akan terjadi ketimpangan yang hanya terjadi di pusat. Menurut saya, sinema harus mampu mendorong pertumbuhan di berbagai wilayah Indonesia,” tutur Garin.

Merangkul semua

Di tengah ingar-bingar perkembangannya, perfilman Indonesia masih terkendala karena belum utuh merangkul penonton anak dan penonton berkebutuhan khusus. Di JAFF 2023, adanya layar anak dan bioskop bisik untuk yang berkebutuhan khusus cukup diminati. Mereka antusias menyaksikan film yang diputar.

Vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud (kedua dari kanan), berbicara sebelum peluncuran lima videoklip grup itu dalam ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Selasa (28/11/2023). JAFF mencoba merangkul semua kalangan, termasuk musisi, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud (kedua dari kanan), berbicara sebelum peluncuran lima videoklip grup itu dalam ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Selasa (28/11/2023). JAFF mencoba merangkul semua kalangan, termasuk musisi, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus.

Bahkan, beberapa anak tergugah untuk merintis membuat film seusai menonton film pendek yang diputar di layar anak Indonesiana. Minimnya film anak Indonesia patut dijawab oleh para sineas mengingat selama ini anak-anak selalu didorong untuk menyaksikan tayangan berkualitas, tetapi ironisnya produksi asli Indonesia tak banyak.

Sementara itu, teman Tuli, teman netra, maupun yang tunadaksa mengaku kerap kesulitan mengakses tontonan di bioskop. ”Padahal, kami pengin juga bisa nonton di bioskop dan mengikuti perkembangan film baru, tetapi sarananya belum optimal,” jelas Arief Wicaksono, seorang teman Tuli yang aktif di Deaf Art Community dan Bawayang Production.

Baca juga: Layar Terkembang hingga ke Timur

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, teks dalam film diwajibkan untuk film berbahasa asing. Padahal, untuk film berbahasa Indonesia, teman Tuli membutuhkan closed caption berbentuk teks di tiap adegan. Namun, karena tidak diwajibkan, hanya beberapa film saja yang dengan kesadaran sineasnya menggunakan closed caption. Salah satunya adalah Petualangan Sherina 2 (2023).

Sementara untuk teman netra, keberadaan audio description masih sangat jarang. Rata-rata mereka bisa mengakses apabila menonton di pelantar digital, bukan di bioskop. Begitu pula dengan mereka yang menggunakan kursi roda atau alat bantu jalan, akses menuju bangku bioskop cukup merepotkan bagi mereka.

Dengan perjalanan ke arah yang tepat, para pelaku industri perfilman semestinya menangkap hal-hal ini dan mengupayakannya. Sebab, sekali lagi, layar sinema sudah waktunya untuk semua.