”Tsunami” Film Internet, Masyarakat Perkuat Gerakan Sensor Mandiri

“Tsunami” film di internet harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam melakukan sensor mandiri. Lembaga Sensor Film memperkuat gerakan sensor mandiri di tengah tsunami film yang begitu besar.

Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto (tengah) dan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (20/7/2023).
KOMPAS/NIKSON SINAGA

Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto (tengah) dan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (20/7/2023).

MEDAN, KOMPAS — ”Tsunami” film yang ditayangkan melalui jaringan internet harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam melakukan sensor mandiri. Lembaga Sensor Film memperkuat gerakan sensor mandiri di tengah tsunami film yang begitu besar.

”Ada jutaan film yang tayang di internet setiap tahun. Lembaga Sensor Film (LSF) hanya bisa menyensor sekitar 40.000 film per tahun. Karena itu, peningkatan literasi sensor mandiri perlu dilakukan di tengah masyarakat,” kata Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto, dalam sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (20/7/2023).

Rommy menyebut, kemajuan teknologi internet membuat jutaan film bisa diakses masyarakat setiap tahun. Pengguna internet di Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2015, pengguna internet masih 110 juta orang, lalu naik menjadi 196 juta pada 2020. Peningkatan juga terjadi dalam tiga tahun ini menjadi 215 juta. Penetrasi internet pun sudah sampai ke desa-desa.

Di tengah tsunami tayangan film, kata Rommy, sosialisasi tentang literasi menonton film harus diperkuat tidak hanya di kota, tetapi sampai ke desa-desa. Sensor mandiri ini mutlak dilakukan karena LSF tidak mungkin bisa menyensor semua film di internet.

Karena itu, peningkatan literasi sensor mandiri perlu dilakukan di tengah masyarakat. (Rommy Fibri)

Sensor mandiri dilakukan dengan meneliti dan menilai isi film apakah layak ditonton dari segi kekerasan, pornografi, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, serta usia penonton film.

Baca juga: Regulasi Sensor Aplikasi Video Belum Jelas

Petugas melakukan pemotongan film berdasarkan berita acara penyensoran film oleh tim sensor di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, Selasa (23/3/2010).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas melakukan pemotongan film berdasarkan berita acara penyensoran film oleh tim sensor di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, Selasa (23/3/2010).

Rommy menyebut, LSF menggaungkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri dengan melibatkan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, kementerian/lembaga, komunitas film, kampus, hingga komunitas sahabat sensor.

Literasi

Literasi juga dilakukan di kampus-kampus, sekolah, hingga desa. Saat ini sudah ada lima desa percontohan Desa Sensor Mandiri, yakni Desa Tigaherang (Kabupaten Ciamis, Jabar), Desa Manguharjo (Madiun, Jatim), Desa Candirejo (Klaten, Jateng), Desa Gekangan (Malang, Jatim), serta Desa Klungkung (Denpasar, Bali).

Rommy mengingatkan, sensor mandiri bisa dilakukan dengan memilih tontotan sesuai klasifikasi usia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Ada empat klasifikasi usia penonton, yakni semua umur (SU), remaja 13 tahun ke atas (R13+), dewasa 17 tahun (D17+), dan dewasa di atas 21 tahun (D21+).

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2020/03/20/20200319-HKT-Sensor-Film-mumed_1584637339_gif.gif

Rommy menyebut, LSF mempunyai wewenang melakukan sensor terhadap semua film, termasuk yang didistribusikan melalui kanal internet (over the top /OTT). Namun, banyaknya film dan keterbatasan LSF membuat tidak semua film di kanal OTT bisa disensor. LSF hanya mempunyai 17 komisioner dan setiap orang bisa menonton 7.000 menit durasi film per hari.

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid menyebut, budaya sensor mandiri yang sudah digalakkan sejak 2015 itu harus terus didorong. Menurut dia, masih banyak masyarakat yang membiarkan anaknya menonton tayangan apa pun tanpa disensor atau dilihat terlebih dahulu apakah film itu cocok untuk anak atau tidak.

Meutya menyebut, anak-anak muda di Indonesia menonton di internet rata-rata delapan jam per hari. Dengan konsumsi film yang terus meningkat, literasi tentang sensor film seharusnya lebih diperkuat.

Meutya mengingatkan, beberapa negara bahkan menggunakan film sebagai senjata nonmiliter. Mereka merusak generasi dengan cara yang sangat halus, yakni dengan nilai-nilai yang dimasukkan melalui film. Ancaman nonmiliter ini menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk disensor.

Baca juga: Dialog dengan Pemilik Film Dikedepankan