Revisi UU Perkawinan Dinilai Langkah Maju Perlindungan Terhadap Anak Perempuan

BREAKINGNEWS.CO.ID-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  yang mengabulkan gugatan revisi batas usia perkawinan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disambut dengan suka cita oleh para pegiat perlindungan anak dan perempuan.

Revisi UU Perkawinan Dinilai Langkah Maju Perlindungan Terhadap Anak Perempuan

BREAKINGNEWS.CO.ID-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  yang mengabulkan gugatan revisi batas usia perkawinan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disambut dengan suka cita oleh para pegiat perlindungan anak dan perempuan. 

"Keputusan ini dianggap sebagai satu langkah maju yang dilakukan Negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan di tanah air," ujar Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI, Ena Nurjanah kepada wartawan, Sabtu (15/12/2018). 

Dalam putusannya MK menyatakan, perkawinan anak, khususnya perempuan di bawah umur, bertentangan dengan konstitusi. Batas minimal usia perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai tindakan yang diskriminatif karena menyebabkan perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki. 

"Batas usia perkawinan anak pada UU Perkawinan sesungguhnya telah melanggar hak  perempuan  untuk mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun sebagaimana yang ada dalam pasal 31 UUD 1945. Dan juga bertentangan dengan  UU Perlindungan Anak No 35 Tahun 2018 pasal 26 yang menyatakan bahwa orang tua wajib mencegah perkawinan usia anak," katanya. 

Hingga tahun 2016 kata Ena, Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan UNICEF mencatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang tinggi yakni sebanyak 340 ribu perempuan Indonesia menikah pada usia di bawah 16 tahun, atau sebesar 46% dari total jumlah perkawinan di Indonesia.

Menurut Ena, beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak salah satunya adalah faktor kemiskinan, terutama di kalangan ekonomi lemah dan masyarakat yang kurang terdidik. Namun, belakangan  muncul fenomena perkawinan anak di kalangan kelas ekonomi menengah dengan alasan menghindarkan anak dari perbuatan dosa. 

"Apapun alasan yang mendasarinya, sebuah perkawinan anak tetap saja akan memberikan dampak yang kurang baik terutama bagi anak perempuan," katanya. 

Menurut Ena, perkawinan usia anak akan memutuskannya dari akses pendidikan. Hal ini akan berdampak pada masa depannya yang suram, tidak memiliki keterampilan hidup dan kesulitan untuk mendapatkan taraf  kehidupan yang lebih baik. 

Dari segi kesehatan pun kata Ena, dapat berdampak buruk karena mereka belum memiliki kesiapan organ tubuh untuk mengandung dan melahirkan. Kehamilan pada usia anak akan mengganggu kesehatan  bahkan dapat  mengancam keselamatan jiwanya. 

"Secara psikologis usia anak  juga masih labil, belum siap untuk menjadi seorang ibu yang mengandung, menyusui, mengasuh dan merawat anaknya, karena ia sendiri  masih butuh bimbingan dan arahan dari orang dewasa," katanya. 

Dikatakan Ena, perkawinan membutuhkan komitmen yang kuat dan harus siap menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam sebuah keluarga. Sementara itu usia anak masih dalam tahap pertumbuhan akan menyulitkannya menghadapi persoalan yang muncul dalam sebuah rumah tangga. 

Ena menegaskan, keputusan MK dengan mengabulkan gugatan mengenai batas usia anak adalah sebuah titik terang upaya menghapus perkawinan anak. 

Langkah selanjutnya adalah mendesak DPR RI untuk melakukan revisi terhadap UU Perkawinan karena MK memberikan tenggat waktu paling lama tiga tahun untuk mengubah ketentuan batas usia dalam UU Perkawinan.  

"Peran anggota dewan sangat diharapkan demi tuntasnya persoalan usia perkawinan Anak perempuan. Tenggat waktunya semestinya tidak sampai tiga tahun, karena dikhawatirkan dengan rentang waktu yang lama, tidak menutup kemungkinan banyaknya perkawinan anak yang terjadi," tukasnya.