Review Film: Teenage Mutant Ninja Turtles

Review Teenage Mutant Ninja Turtles - Mutant Mayhem: film ini berhasil menebus 'dosa' adaptasi kisah sang Kura-kura Ninja pada masa terdahulu.

Review Film: Teenage Mutant Ninja Turtles
Jakarta, CNN Indonesia --

Ucapan terima kasih dan penghormatan terbaik rasanya layak disematkan kepada orang-orang di balik Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem. Film animasi itu berhasil menebus 'dosa' adaptasi kisah sang Kura-kura Ninja pada masa terdahulu.

Proyek yang diprakarsai Seth Rogen itu muncul sebagai kandidat kuat film animasi favorit 2023. Saya rasa tidak berlebihan pula jika Mutant Mayhem layak bersanding di dekat Across the Spider-Verse sebagai jagoan animasi tahun ini.

Mutant Mayhem memang impresif dari berbagai aspek. Namun bagi saya, keunggulan utama karya ini berasal dari persembahan visual yang memesona.

TMNT: Mutant Mayhem sukses menggebrak Hollywood dengan eksekusi animasi unik dan tak biasa. Sentuhan animasi 'imperfect' yang mendominasi komposisi visual benar-benar memikat perhatian.

Gaya animasi itu menghasilkan visual yang kasar, jauh dari kesempurnaan, bahkan nyaris seperti stop-motion. Namun uniknya, kemasan semacam itu justru menjadi begitu mewah berkat digarap dengan penuh hati.

Mutant Mayhem seolah membuktikan hasil karya para seniman yang mendapat ruang untuk bebas berkreasi. Mereka pun menggunakan kebebasan tersebut dengan berbagai eksperimen bak corat-coret abstrak di buku catatan sekolah.

Brady Noon, Nicolas Cantu, Shamon Brown Jr., Ayo Edebiri, dan Micah Abbey dalam Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem. (Paramount Pictures via IMDb)Review Teenage Mutant Ninja Turtles - Mutant Mayhem: film ini berhasil menebus 'dosa' adaptasi kisah sang Kura-kura Ninja pada masa terdahulu. (Paramount Pictures via IMDb)

Gaya animasi tak sempurna ini tak pelak mengingatkan saya dengan dua film: Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) dan The Mitchells vs. the Machines (2021).

Pertama, Mutant Mayhem meninggalkan kesan yang sama dalamnya seperti ketika pertama kali menonton Into the Spider-Verse. Saya merasakan ada sentuhan dengan warna senada antara kedua film tersebut.

Into the Spider-Verse, bagi saya, mampu menawarkan animasi tak lazim yang berhasil menuai pujian dan laris di pasaran.

Capaian itu kemudian bagai membuka jalan bagi Mutant Mayhem untuk berekspresi semakin bebas dan liar sehingga menghasilkan karya animasi yang tidak kalah brilian.

Mutant Mayhem juga membawa ingatan saya menuju The Mitchells vs. the Machines, karya pertama Jeffrey Rowe yang saat itu berkolaborasi dengan Mike Rianda sebagai co-director.

Kehangatan cerita keluarga dengan visual penuh warna dalam The Mitchells kembali terasa saat saya menonton Mutant Mayhem. Rowe pun seolah membawa segudang ilmu dari The Mitchells untuk dijadikan bahan formula saat menggarap Mutant Mayhem.

Lanjut ke sebelah..