Review Film: Air Mata di Ujung Sajadah

Review Air Mata di Ujung Sajadah: Ada 3 formula di balik capaian dua juta penonton film ini: drama keluarga, emosi ibu-anak, dan adegan tear-jerker tanpa henti.

Review Film: Air Mata di Ujung Sajadah
Jakarta, CNN Indonesia --

Saya berangkat menyaksikan Air Mata di Ujung Sajadah hanya karena satu alasan: penasaran. Mengapa film yang nyaris tanpa promosi besar-besaran semacam ini bisa mencapai lebih dari dua juta penonton?

Rasa penasaran itu secara perlahan terjawab ketika film mulai dibuka dengan narasi romantisme berujung tragis yang menjadi pengantar cerita. Sejak saat itu, Aqilla (Titi Kamal) yang menjadi karakter utama harus menghadapi nestapa tanpa henti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film ini kemudian melaju menjadi cerita keluarga yang mengusung premis sederhana, tetapi dikemas dengan begitu dramatis.

Kisah Aqilla berjuang mendapatkan kembali anaknya yang diasuh Arif (Fedi Nuril) dan Yumna (Citra Kirana) diramu sedemikian rupa sehingga terasa sentimental. Hal itu begitu terasa dari penulisan cerita yang sarat dramatisasi dan otomatis mengundang empati.

Cerita ditulis mengikuti balada Aqilla yang ingin hidup dengan anak kandungnya usai terpisah sejak lahir, lalu beralih memperlihatkan sudut pandang Arif dan Yumna yang selama ini merawat tanpa pamrih bak anak sendiri.

Penggambaran pergolakan batin antara ketiga karakter utama itu digarap menjadi cerita drama yang memantik dilema penonton. Titien Wattimena selaku sang penulis skenario juga tidak luput menyertakan bumbu-bumbu tear-jerker yang mengundang air mata.

Air Mata di Ujung SajadahReview film Air Mata di Ujung Sajadah:Titien Wattimena selaku sang penulis skenario juga tidak luput menyertakan bumbu-bumbu tear-jerker yang mengundang air mata. (dok. Beehave Pictures)

Air mata penonton seolah diperas habis ketika melihat kegundahan setiap karakter saat mereka menghadapi ketakutan masing-masing. Belum lagi chemistry antara dua 'Ibu' dengan Baskara (Faqih Alaydrus), anak yang mereka perjuangkan.

Saya harus akui penulisan skenario Air Mata di Ujung Sajadah digarap dengan rapi dan cukup matang. Ide plot yang familier juga tak membuat film ini menjadi membosankan atau pasaran.

Di sisi lain, muatan pesan yang diangkat Air Mata di Ujung juga mumpuni. Penulis sanggup memberikan ruang yang seimbang bagi sebagian besar karakter, serta tidak ada kesan menggurui di baliknya.

Salah satu bukti muatan pesan film ini tidak murahan terlihat dari cara penulis mengakhiri konflik Aqilla dan Arif-Yumna. Resolusi dari masalah itu dewasa dan tidak menimbulkan banyak perdebatan.

Kemasan itu menjadi senjata yang begitu ampuh karena mampu memikat penonton, terutama bagi perempuan yang merasa mudah relevan dengan cerita tentang ibu dan anak.

Hal itu terlihat jelas dari demografi penonton yang ada di sekitar saya saat menyaksikan film ini. Penonton Air Mata di Ujung Sajadah didominasi kalangan perempuan dari usia 20-an hingga 'emak-emak' usia 50-an.

Ini merupakan pemandangan yang menarik, terutama ketika mendengar isak tangis penonton pada adegan-adegan tertentu.

Lanjut ke sebelah...

[Gambas:Video CNN]