Pertaruhan Film Cendekiawan

Film-film berlatar sejarah belum memiliki pangsa pasar yang terang sehingga diperlukan jangkar atau penguat. Biopik Buya Hamka dengan bujet tergolong besar mengimplementasikan keoptimisan untuk menembus belantika film.

Salah satu adegan film Buya Hamka.
ARSIP FALCON PICTURES

Salah satu adegan film Buya Hamka.

Dibandingkan genre-genre lainnya, film berlatar sejarah, terlebih yang mengajak penonton berkontemplasi, masih jatuh bangun untuk bersaing di belantika perfilman. Ketidakpastian itu diterabas Buya Hamka tentang ulama karismatik dengan pesan-pesan yang tetap aktual.

Pulasnya Hamka (Vino G Bastian) terusik saat sipir dengan setengah ketus meminta ia bertemu istrinya. Engku, demikian sapaannya, bersua Siti Raham atau Umi (Laudya Cynthia Bella) dan tiga anak laki-laki mereka untuk menyantap gulai kepala kakap di rumah tahanan, tahun 1964.

Hamka dengan tangan renta menyuap hidangan kesukaannya itu. Ia menyeka air mata, namun Umi memintanya menahan sedih lantaran sajian tersebut bakal terasa lebih asin. “Air mata adalah garam kehidupan. Tanpa air mata, hidup hambar adanya,” ucapnya.

Set beralih ke Makassar, Sulawesi Selatan, sebelum Hamka pindah ke Medan, Sumatera Utara, tahun 1936, karena didapuk sebagai pemimpin majalah Pedoman Masyarakat. Ia menulis novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang mengkritisi kawin paksa dan status sosial hingga menjadi buah bibir.

“Dakwah tak selalu harus disampaikan lewat ceramah dan pidato, di surau atau masjid. Melalui roman yang indah memikat hati, dakwah bisa jauh lebih mengena,” kata Umi. Dikisahkan pula pergulatan Hamka saat pendudukan Jepang, kemerdekaan Indonesia, hingga menjelang kembalinya Belanda ke Nusantara.

Salah satu adegan film Buya Hamka.
ARSIP FALCON PICTURES

Salah satu adegan film Buya Hamka.

Hamka bertemu Karta (Ade Firman Hakim) asal Jawa Barat, sobatnya sesama pengurus Muhammadiyah yang sudah berpisah lebih dari 10 tahun. “Tak usah mengharamkan apa yang seharusnya tak haram,” ujar Karta menjawab kerisauan Hamka ketika melihatnya mengenakan jas yang bisa dituding kafir.

Demikian anjuran-anjuran yang masih faktual dalam Buya Hamka. Pemikir yang punya visi jauh melampaui zamannya itu juga tak dipanggungkan dengan menjelimet. Film berdurasi sekitar 1,5 jam tersebut menyajikan alur ringan dengan imbauanyang mudah ditangkap.

Hamka, umpamanya, disosokkan suami romantis yang kerap melontarkan kata-kata mesra kepada Umi, tentu dengan kesederhanaan khalayak Padang pada waktu lampau. Ia juga ditampilkan sebagai ulama lemah lembut yang nyaris tak pernah mengumbar amarahnya.

Hamka dengan tenang mengutarakan soal orang-orang yang enggan menambah ilmu karena sempitnya pandangan terhadap agama. “Katanya, sedikit-sedikit haram atau kafir,” ucapnya di sela mengunjungi sekretariat Muhammadiyah Makassar, tahun 1933.

Tontonan yang disutradarai Fajar Bustomi itu mengingatkan betapa publik sampai sekarang pun membutuhkan pemuka agama yang sabar. Bukan figur yang menjerit-jerit sembari melancarkan kebencian terhadap pemeluk keyakinan berbeda karena agama sejatinya tak membenarkan permusuhan.

Salah satu adegan film Buya Hamka.
ARSIP FALCON PICTURES

Salah satu adegan film Buya Hamka.

Tak dendam

Rekam jejaknya membuktikan Hamka soal implementasi untuk memahami psikologi umat yang diraihnya dengan otodidak. Tak sekadar di depan jemaah, ia pun mendisiplinkan diri untuk tak menyimpan gusar meski onak dan duri berkali-kali merambati hidupnya.

Dalam buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern karya Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achmad Dian yang diterbitkan PT Gramedia Widiasarana Indonesia pada tahun 1992, Hamka diserang sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) atau PKI dengan maksud utama menjatuhkan keulamaannya.

Kekritisan Hamka atas Orde Lama yang bikin Soekarno gerah akhirnya diganjar bui, namun ia sama sekali tak memendam dendam. Kerendahan hati digamblangkan dengan memenuhi permintaan memimpin shalat jenazah seusai presiden pertama tersebut wafat.

Bertaburkan bintang-bintang beken lain macam Marthino Lio, Mawar de Jongh, Yoriko Angeline, Ferry Salim, dan Desy Ratnasari, Buya Hamka jelas sangat kontekstual mengingat centang perenangnya relasi sosial belakangan ini, terutama dengan tahun politik yang semakin intens.

Lewat layar lebarnya, Hamka ibarat oase bagi keluarga menghadapi konstelasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2024. Momen rawan akan friksi antarkerabat gara-gara perdebatan tak berujung bisa sedikit tercairkan lewat tayangan tokoh berkepala dingin itu.

Salah satu adegan film Buya Hamka.
ARSIP FALCON PICTURES

Salah satu adegan film Buya Hamka.

Hiburan tersebut juga sungguh mengasyikkan untuk mereka yang menggemari busana, kendaraan, dan perabot retro. Delman, mobil, sepeda motor, lampu minyak, rumah, senapan, tas kulit, mesin tik, kereta, stasiun, hingga lokomotif, bisa diamat-amati.

Falcon Pictures, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Starvision yang memproduksi tayangan tersebut berani untuk tak menggunakan teknik depth of field sempit atau memblurkan latar adegannya seperti beberapa film bertema sejarah. Semua tampak jelas.

Tak heran, Buya Hamka menelan biaya besar. Biopik itu terdiri atas tiga volume atau bagian yang menghabiskan total hingga Rp 60 miliar. Keoptimisan para produser mementaskan cendekiawan yang edukatif diiringi momentum Lebaran untuk meraup penonton sebanyak mungkin.

Memoar tersebut tak ayal menjadi pertaruhan di tengah animo penggemar film kebanyakan yang gandrung dengan horor, drama, dan komedi. Diputar sejak 19 April lalu, Buya Hamka menarik sekitar 690.000 pengunjung bioskop hingga Jumat (28/4/2023).

“Masih cukup jauh dari break even point (balik modal),” ujar Produser Starvision Chand Parwez tanpa menyebutkan angka audiens yang mesti diraih. Ia tetap optimistis. Pada akhir pekan lalu, Buya Hamka diprediksi sudah ditonton lebih dari 1 juta kali.

Salah satu adegan film Buya Hamka.
ARSIP FALCON PICTURES

Salah satu adegan film Buya Hamka.

“Hasilnya cukup baik. Memang dilematis dibandingkan variasi yang biasa ramai ditonton, tapi penilaiannya sangat positif,” ucapnya. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, dan beberapa pejabat mengungkapkan apresiasinya dengan menyaksikan pertunjukan itu.

Perlu jangkar

Sutradara kawakan Riri Riza memandang film-film bernuansa historis belum memiliki pangsa pasar yang terang sehingga diperlukan jangkar atau penguat. “Contohnya, Buya Hamka, Muhammadiyah saja punya banyak sekolah. Dulu, ada film tentang Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah),” katanya.

Berbasiskan organisasi yang besar dan kuat, pemangku kepentingan atau stakeholder itu bisa menjadi suporter yang kokoh. “Hamka terkait masyarakat Minang yang kuat. Filmnya mencoba menggali ke arah penonton dalam pola pemasaran dengan mengundang banyak tokoh waktu premier,” katanya.

Riri menuturkan sulitnya menuntaskan film dengan set sejarah jika tak memiliki jangkar yang besar saat mengarahkan Gie (2005). “Siapa yang bisa jadi stakeholder? Pemodal film tentang aktivis Tionghoa yang vokal? Enggak ada yang mau menjamin dananya,” ujarnya.

Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Ahmad Mahendra siap membantu film-film yang mengangkat suri teladan. “Kami bersedia mendampingi kalau diminta mengadakan nonton bareng Buya Hamka,” ucapnya.