Konflik Budaya RI-Malaysia

Lagu kebangsaan Malaysia disebut menjiplak lagu Terang Boelan.

Konflik Budaya RI-Malaysia
image

Oleh ALWI SHAHAB

Konflik budaya antara RI dan Malaysia terus menghangat. Presiden SBY ikut protes ketika Tari Pendet dari Bali diklaim sebagai seni budaya Malaysia dengan memasukkannya pada iklan Visit Malaysia Year 2009. Malaysia diminta untuk menjaga hubungan baik dan tidak memancing emosi masyarakat Indonesia.

Sesungguhnya klaim Malaysia terhadap produk-produk budaya Indonesia bukan baru kali ini saja. Sebelumnya Malaysia juga menganggap reog, seni tari Ponorogo, Jawa Timur, sebagai miliknya. Pada dua tahun lalu lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku juga digunakan dalam promosi pariwisata Malaysia dan diklaim sebagai miliknya.

Ketika itu, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menunjukkan bukti berupa piringan hitam produksi Lokananta. Presiden Soekarno, dalam Asian Games IV di Jakarta, Agustus 1962, memberikan 100 keping piringan hitam berisi lagu Rasa Sayange kepada para peserta olahraga se-Asia itu. Sejumlah seniman berpendapat, konflik budaya tersebut semestinya membuat masyarakat Indonesia sadar akan kekayaan budayanya.

Lepas dari cara-cara yang kurang elok dalam mempromosikan wisatanya itu, Malaysia boleh berbangga diri atas banyaknya tamu asing yang berkunjung ke negeri jiran itu. Pada tahun 2008, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Malaysia sudah mencapai 22,05 juta orang  berdasarkan data dari PATA (Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik). 

Sesungguhnya klaim Malaysia terhadap produk-produk budaya Indonesia bukan baru kali ini saja.

   

Jumlah tersebut melebihi target sebesar 21,5 juta orang. Sebagai perbandingan, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia pada tahun yang sama hanya berkisar enam juta orang. Kecuali terhadap TKI khususnya TKW, Malaysia sangat ramah dalam menyambut para tamu asing.

Malaysia juga sangat gencar mempromosikan pariwisata melalui media-media internasional, seperti CNN, Times dan Newsweek. Kerajinan batik yang berasal dari Indonesia, juga mereka promosikan sebagai produk negaranya.

Selain itu, para wisatawan asing, begitu tiba di Subang Airport, Kuala Lumpur, tidak dikejar-kejar para calo seperti banyak berkeliaran di Cengkareng. Para tamu pun tidak perlu menunggu terlalu lama dalam mengambil barangnya di bandara.

Ketika beberapa waktu lalu kembali dari Belanda, saya menggunakan KLM dari Den Haag ke Jakarta dengan transit di Kuala Lumpur. Seluruh kursi pesawat berbadan lebar milik maskapai penerbangan Belanda itu dipenuhi penumpang.

Saat itu saya sempat mengira sebagian besar dari mereka akan ke Jakarta, mengingat mereka punya kaitan moral karena leluhurnya pernah lebih 300 tahun menjajah Indonesia. Kenyataannya, setibanya di Kuala Lumpur sebagian besar penumpang bule itu turun di ibukota Malaysia tersebut. 

Meskipun judul dan liriknya berbeda, lagu kebangsaan Malaysia tersebut sangat mirip dengan lagu pop Indonesia tahun 1930-an berjudul Terang Boelan.

   

Pada 31 Agustus 1957 Malaysia (masih bernama Malaya) merdeka. Berakhirnya kekuasaan Inggris itu juga diperingati di Jakarta, dihadiri wakil-wakil pemerintah RI dan korps diplomatik. Acara peringatannya berlangsung di kediaman keluarga keturunan Arab, Alkaff, seorang warga Singapura (saat itu masih menjadi bagian Malaya) yang menjadi tuan tanah di Kwitang, Jakarta Pusat.

Perayaan tersebut berlangsung di Jalan Kwitang No 22, rumah paling bagus dan besar di kawasan yang berdekatan dengan Toko Buku Gunung Agung. Dalam acara itu diperdengarkan lagu kebangsaan Malaya, Negaraku.

Meskipun judul dan liriknya berbeda, lagu kebangsaan Malaysia tersebut sangat mirip dengan lagu pop Indonesia tahun 1930-an berjudul Terang Boelan. Menurut sutradara dan tokoh perfilman Misbach Yusa Biran, lagu tersebut merupakan theme song film Terang Boelan produksi tahun 1937 dan diedarkan tahun 1938.

Film yang dibintangi oleh Roekiah dan Rd Muchtar tersebut membawakan sejumlah lagu, antara lain lagu Terang Boelan. Lagu ini diciptakan dan dinyanyikan oleh Ismail Marzuki. Selain dikenal sebagai pencipta lagu, dia juga penyanyi orkes Live Java.

Selain sukses di Indonesia, film itu juga sukses di Malaya. Hingga, menurut Misbach, mereka membuat film serupa di Malaya. Seperti juga di Indonesia, lagu Terang Boelan di Malaya sangat populer dan dinyanyikan oleh semua kalangan hingga mereka akhirnya mengira bahwa lagu tersebut adalah lagu rakyat Malaya. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris, lagu tersebut mereka jadikan sebagai lagu kebangsaan. 

Klaim terhadap lagu Terang Boelan ini tidak menimbulkan keberatan dari Indonesia.

Klaim terhadap lagu Terang Boelan ini tidak menimbulkan keberatan dari Indonesia. Bahkan, kata mantan ketua Sinemateks Indonesia, Badan Sensor Film (BSF) mengorbankan film Panah Mas yang disutradarai Wim Umboh berjudul Terang Boelan (1955) yang diangkat dari cerita karya seniman Betawi, SM Ardan.

Alasannya, film itu menggunakan theme song lagu kebangsaan Malaysia, Terang Boelan. Dan, untuk menghormati lagu kebangsaan Malaysia itu, BSF melarang peredaran film, yang selesai produksinya hampir bersamaan dengan kemerdekaan Malaya, tersebut.

Menurut Misbach, pada 1997 ada pertemuan penggarap film di Jakarta. Ketika menyampaikan makalah tentang sejarah film Indonesia, Misbach menyinggung tentang lagu Terang Boelan. Kepala Perpustakaan Nasional Malaysia yang hadir langsung keberatan dikatakan bahwa lagu kebangsaannya berasal dari film Indonesia. Menurutnya, lagu itu berasal dari piringan hitam produksi Belanda.

Tetapi, munculnya lagu keroncong dalam film Belanda tentu agak sulit dibayangkan. Menurut Misbach, lagu Terang Boelan adalah jenis musik stambul dua yang berasal dari lagu pelaut Portugis. Hampir semua kalangan di Indonesia pada tahun 1930-an mahir menyenandungkan lagu tersebut.

Film Terang Boelan memang sangat fenomenal dan melahirkan bintang idola Miss Roekiah, ibu almarhum Rachmat Kartolo. Model kebaya yang dipakai Roekiah dalam film tersebut segera menjadi mode kebaya para ibu masa itu. Misbach menyimpulkan, besar kemungkinan lagu Terang Boelan memasyarakat di Malaya karena pengaruh film tersebut.

Disadur dari Harian Republika edisi 30 Agustus 2009. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.