Hantu ”Ibu” dalam Film Horor

Dahulu film horor adalah tontonan kelas menengah ke bawah karena menjual sensasi ketimbang artistik. Namun, sejak tahun 2017, lewat film ”Pengabdi Setan”, film horor digandrungi semua kelas sosial.

Penerbit: Cantrik Pustaka

Tahun terbit: 2022

Tebal: 254 halaman

ISBN: 978-623-6063-72-9

Ajang Festival Film Indonesia tahun 2017 adalah tonggak penting dalam sejarah film horor Indonesia. Tidak terbayang sebelumnya, film ”Pengabdi Setan” besutan Joko Anwar meraih penghargaan sebagai film terbaik pada festival itu. ”Pengabdi Setan” bahkan membawa pulang tujuh Piala Citra.

Belum pernah ada dalam pergelaran Festival Film Indonesia yang menempatkan film horor sebagai film terbaik. Apalagi, sejak dulu film horor Indonesia sering menyuguhkan tayangan kontroversial dan berlebihan. Namun, sejak kesuksesan film Pengabdi Setan, sineas Indonesia berlomba memproduksi film yang berlandaskan nilai-nilai artistik, tidak sekadar menakut-nakuti penonton.

Meskipun film horor naik daun, kebanyakan film lebih banyak menampilkan pemeran utama hantu perempuan. Sejak tahun 1970-2020, dari total 580 film horor, sebanyak 351 film atau 60,52 persen film menampilkan hantu perempuan. Sosok hantu perempuan antara lain kuntilanak, perempuan tua, suster, Nyi Roro Kidul, sundel bolong, dan nenek lampir.

Menarik dicatat, dari 351 film horor selama 50 tahun, setidaknya ada 94 film yang merupakan maternal horror. Maternal horror bermakna menempatkan sosok ibu sebagai pemeran utama, yakni hantu atau monster.

Menyimak data-data di atas, Annissa Winda Larasati dan Justito Adiprasetio mengkaji maternal horror dalam film Indonesia, dengan hasil buku berjudul Memaksa Ibu Jadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer (Cantrik Pustaka, 2022). Publikasi ini didasarkan hasil tesis Annissa Winda saat studi di Program Studi Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada.

Annissa Winda Larasati melakukan analisis wacana maternal horror dalam film Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019). Kedua film tersebut karya Joko Anwar, yang menjadi film terlaris sepanjang lima puluh tahun dari 1970-2020.

Meskipun film horor naik daun, kebanyakan film lebih banyak menampilkan pemeran utama hantu perempuan.

Data historis

Dalam sejarah perfilman Indonesia, film horor mengalami pergeseran dari segi narasi, sinematografi, dan representasi hantu yang diangkat. Antara tahun 1970-an dan 1990-an banyak film horor yang merepresentasikan hantu pada legenda masyarakat.

Pada periode 1970-1990-an yang sering dianggap sebagai kebangkitan film nasional, film horor hadir dalam film Beranak dalam Kubur (1971) dan Lisa (1971). Kedua film ini tidak hanya menyajikan pola narasi dan ikonografi lewat karakteristik hantu yang muncul dalam film tersebut, tetapi juga mengangkat Suzanna sebagai ”ratu film horor” Indonesia.

Tahun 2000-an, muncul film-film hantu yang hampir memiliki kesamaan dengan hantu-hantu pada periode sebelumnya. Film horor yang diangkat memunculkan hantu-hantu dari legenda masyarakat perdesaan dan legenda perkotaan atau legenda urban. Maka, muncul film-film mulai dari Suster Ngesot (2007) hingga Pocong 2 (2006).

Namun, yang membedakan dengan periode sebelumnya, pada kurun 2000-an ditemukan pola dalam struktur naratif film yang diangkat. Sutradara menggunakan setting film di perkotaan, anak-anak muda yang menjadi karakter utama, dan sinematografi yang mirip dengan produksi di Hollywood.

Produksi film horor di Indonesia termasif terjadi pada 2010-2020. Pada periode ini, pola narasi film lebih beragam, seperti munculnya subgenre horor-komedi. Tidak hanya itu, pada dekade awal 2010-an muncul film-film horor yang lebih banyak menampilkan seksualitas perempuan di dalamnya.

Foto salah satu adegan dalam film Iblis dalam Kandungan
DARIHATI FILMS

Foto salah satu adegan dalam film Iblis dalam Kandungan

Pada masa awal tahun 2010-an, penonton dibuat jenuh karena film horor tidak lagi menampilkan tokoh-tokoh hantu, tetapi lebih pada tokoh-tokoh yang menampilkan keseksian. Baru pada 2017, muncul film Pengabdi Setan yang menandai kebangkitan dunia film horor Indonesia. Mereka meninggalkan pola narasi lama dan kembali pada sosok hantu sebagai ikonografi film.

Berdasarkan komparasi dari ketiga periode di atas, ada sesuatu hal yang menarik saat keberadaan perempuan sebagai tokoh hantu begitu dominan. Biasanya, karakter perempuan dalam film horor digambarkan sebagai pemberontak atas ketidakadilan yang dilakukan oleh laki-laki. Apalagi, di antara tahun 2010-2020, tokoh hantu perempuan jumlahnya naik drastis dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Penulis juga merangkum ragam jenis hantu di film horor Indonesia dari tahun 1970-2020. Selama 50 tahun, kuntilanak menempati urutan pertama. Kuntilanak adalah arwah seorang ibu yang meninggal ketika hamil atau melahirkan. Hal ini menunjukkan dominasi sosok ibu dalam film horor Indonesia.

Wacana ”maternal horror”

Keberadaan sosok perempuan, terutama yang berperan sebagai ibu dalam film horor, biasanya digambarkan sebagai korban perkosaan, perselingkuhan, atau disakiti laki-laki. Tidak berselang lama, tokoh ibu kemudian meninggal karena sakit, dibunuh, atau bunuh diri. Setelah meninggal, tokoh ini menjadi hantu yang meneror laki-laki dan membalaskan dendamnya.

Pola itu memunculkan wacana maternal horror. Wacana ini muncul karena pengaruh sosiokultural di masyarakat tentang konsep ibu yang ideal. Juga pengaruh dari kebudayaan patriarki yang semakin membuat peran ibu hanya terkait urusan domestik, yakni melayani suami dan anak-anak.

Biasanya, karakter perempuan dalam film horor digambarkan sebagai pemberontak atas ketidakadilan yang dilakukan oleh laki-laki.

Sosok ibu yang ditampilkan dalam film maternal horror juga sering kali diceritakan sebagai seseorang yang ditinggalkan, dicampakkan, atau dikorbankan oleh suami. Tekanan semakin tinggi juga menimpa seorang ibu tunggal karena harus merangkap peran. Hal-hal seperti ini yang membuat sosok ibu semakin tertekan dan menjelma menjadi tokoh jahat.

Maka, menurut Arnold, yang dikutip dalam buku ini, ada dua sosok ibu dalam film yakni ”good mother” dan ”bad mother”. Good mother adalah sosok ibu yang merawat anak, menjadi perekat keharmonisan keluarga. Biasanya representasi dari good mother terdapat dalam film melodrama yang sarat akan kehangatan keluarga.

Lain lagi dengan konsep bad mother, saat perilaku ibu menyimpang, yaitu keterlibatan ibu yang berlebihan, keegoisan, atau kehadiran yang mencekik. Dalam budaya patriarki, sosok bad mother dianggap sebagai potret ibu yang gagal. Maka, sosok ibu yang tidak merepresentasikan dirinya sebagai ibu yang ideal, seperti tidak melindungi keselamatan anak, beralihnya entitas dari yang memberi kehidupan menjadi pemberi kematian adalah contoh dari konsepsi maternal horror.

Sosok ibu yang jahat mengancam anak-anaknya sehingga sering ditampilkan dalam film horor sebagai hukuman kepada sosok ibu atas keputusan yang telah ia ambil. Ia menjadi sosok yang membahayakan keluarga karena tidak mampu mencintai dan melindungi anak-anaknya. Narasi-narasi inilah yang menurut Arnold membentuk genre baru: maternal horror.

Di dalam film maternal horror, ketakutan untuk tidak memenuhi kriteria sebagai ibu yang ideal dapat membangun kecemasan dalam diri seseorang untuk berlaku jahat. Apalagi dengan tekanan sosial semakin menyudutkan sosok ibu karena tidak sesuai aturan dan norma di masyarakat.

Baca juga : ”Nyutrayu”, Menantang Bias Feminisme

Meski maternal horror dapat berpotensi mereduksi peranan ibu yang ideal, melalui film horor setidaknya dapat diketahui alasan hantu ibu selalu menonjol. Dalam film horor, sosok ibu yang menjelma menjadi monstrous mother menunjukkan beratnya beban ibu dengan idealisasi sosok yang diciptakan masyarakat sehingga akhirnya berperilaku menyimpang.

Perilaku menyimpang merupakan upaya sang ibu menunjukkan kepada sekitarnya tentang berbagai macam hal yang tidak bisa dikatakan semasa hidupnya. (Martinus Danang P Wicaksana/Litbang Kompas)