Digandrungi di Indonesia, Film The Little Mermaid Sepi Peminat di Korea Selatan dan China

Film live action The Little Mermaid masih bertengger di beberapa bioskop Indonesia.

Digandrungi di Indonesia, Film The Little Mermaid Sepi Peminat di Korea Selatan dan China
image

Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Alivio Mubarak Junior

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Film live action The Little Mermaid masih bertengger di beberapa bioskop Indonesia.

Hal tersebut tak lepas dari banyaknya minat penonton The Little Mermaid, padahal film ini tayang sejak 24 Mei 2023.

Baca juga: Jadwal Tayang Film The Little Mermaid di Bioskop XXI Jakarta Hari Ini, Minggu, 28 Mei 2023

Bahkan, film karya sutradara Rob Marshall ini menduduki peringkat pertama box office Amerika Utara.

The Little Mermaid memperoleh pendapatan kotor 96 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,43 triliun di satu pekan awal penayangannya.

[embedded content]

Meski banyak yang minat, namun hal tersebut tak berlaku di Korea Selatan dan China.

Dilansir dari Hollywood Reporter, Kamis (8/6/2023), film itu hanya bisa mengantongi pendapatan sebesar 3,6 juta dolar AS atau setara Rp53,4 miliar di 10 hari penayangannya di China.

Dapat diartikan The Little Mermaid masuk kategori film dengan antusiasme terburuk di antara adaptasi live action Disney yang lain di China.

Baca juga: Profil Halle Bailey, Pemeran Ariel di Film The Little Mermaid, Awali Karier sebagai Penyanyi

Adapun di Korea Selatan film ini juga sepi peminat, The Little Mermaid hanya meraup penghasilan sebesar 4,4 juta dolar AS atau setara Rp65,2 miliar hingga 4 Juni lalu.

Pencapaian buruk film ini tentu tak lepas dari kecaman di media sosial baik di China maupun di Korea Selatan.

Tak hanya itu, Halle Bailey yang memerankan karakter Ariel sempat menuai pro dan kontra. 

Banyak pemggemar Disney yang merasa imajinasinya terkait Ariel dari versi animasi ke live action tidak tepat.

Pasalnya, Bailey adalah aktris berkulit hitam, sedangkan Ariel versi animasi berkulit putih. 

Ditambah adanya beberapa ulasan negatif  di media sosial China. Tepatnya sebelum film dibuka di negara itu, The Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah memuat editorial yang mengecam motif Disney.

"Kontroversi seputar pemaksaan Disney memasukkan minoritas dalam film klasik bukanlah tentang rasisme, tetapi strategi bercerita yang malas dan tidak bertanggung jawab," jelas opini tersebut.

"Banyak netizen Tiongkok mengatakan bahwa seperti ‘Putri Salju’, citra putri duyung dalam dongeng Hans Christian Andersen telah lama mengakar di hati mereka dan butuh lompatan imajinasi untuk menerima pemeran baru," tambahnya.