Sebuah Refleksi: Menelisik Film Indonesia

Thomas Elsaesser, seorang profesor kajian film dan ahli tentang arkeologi media yang sangat disegani di kalangan akademisi film di seluruh d

Sebuah Refleksi: Menelisik Film Indonesia
image

Oleh Nurman Hakim.

JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- Thomas Elsaesser, seorang profesor kajian film dan ahli tentang arkeologi media yang sangat disegani di kalangan akademisi film di seluruh dunia, menyatakan bahwa keberadaan film dengan imaji-imaji yang ada didalamnya, selain mampu memberi pengaruh terhadap penontonnya juga pembuatnya, ia juga mampu membentuk realitas dengan caranya sendiri serta bagaimana film mengklasifikasikan dunia (Elsaesser: 2019).

Dunia yang terklasifikasi dengan berpijak pada realitas yang berlangsung di masyarakat, diyakini oleh pembuat film lalu dimodifikasi, diidealisasi, dan diproyeksikan ke ‘realitas baru’ yang diserap oleh penontonnya.

Pernyataan Elsaesser ini merujuk pada film sebagai material culture yang di dalamnya terbentang jejaring makna, yang memanifestasikan pikiran dan segala sumber daya yang dimiliki oleh pembuatnya sebagai individu maupun kolektif suatu masyarakat. Dalam pengertian Antropolog Claude Levi-Strauss, melalui material culture ini, menyediakan pintu bagi kita untuk bisa memahami pola pikir dan struktur kebudayaan dari suatu masyarakat (Strauss: 1963),

Dengan demikian, melalui film sebagai bagian dari jejaring makna itu, kita bisa memeriksa dan mencari suatu pemahaman mengenai pikiran pembuatnya dan juga pikiran dari masyarakatnya dalam memandang kehidupannya.

Mengikuti Sigmund Freud mengenai konsepnya tentang kesadaran pada psikologi manusia, pembuat film dengan kesadaran ataupun ketidaksadarannya (subconsciousness) menyerap segala sesuatu dalam kehidupan sosial budaya, politik, agama dan keyakinannya.

Segala yang diserap itu membentuk dan mempengaruhi pandangan hidupnya, pola pikirnya, yang kemudian mengejawantah ke dalam film yang ia buat. Ia membawa serta memori kolektif masyarakatnya atas persoalan sosial, budaya, politik dan juga agama yang terjadi dalam masyarakatnya. Dari sini lah kita bisa memetakan dunia yang terklasifikasikan itu dengan berbagai persoalannya, melalui, genre, tema, gaya dan naratif pada film-film yang muncul.

Pendapat yang saya kemukakan ini adalah suatu upaya dalam memahami film secara substansial dalam relasinya dengan situasi sosial dan persoalan lainnya di masyarakatnya, bukan dalam usaha meletakan film sebagai komoditas ekonomi semata, atau pun film sebagai karya estetika saja, melainkan menariknya ke wacana yang lebih luas, meskipun dalam penentuan tema dan naratif sebuah film yang akan dibuat tentu tak bisa dilepaskan dari dimensi ekonomi dan estetika film.

Jika hanya berfokus dan didominasi oleh dimensi ekonomi, maka potensi dari dimensi-dimensi lain yang ada dalam film tak akan muncul. Lain persoalannya jika dimensi ekonomi dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengungkap suatu pola atau struktur sosial budaya masyarakatnya, ia akan mengungkap banyak hal tentang masyarakatnya itu.