Rezim Jokowi Gagal Pertahankan Martabat Film Indonesia

. Tak cukup dipercaya sebagai karya cipta seni budaya untuk pranata sosial – sebagaimana diamanatkan konstitusinya ((UU No 33 tahun 2009).

Rezim Jokowi Gagal Pertahankan Martabat Film Indonesia
image

 Oleh Akhlis Suryapati

JAKARTA,- Jakarta.Suaramerdeka.com,- Dalam hampir satu dekade Rezim Jokowi, Film Indonesia gagal mengembalikan atau mempertahankan martabatnya. Marwahnya pudar. Kehormatannya runtuh. Tak cukup dipercaya sebagai karya cipta seni budaya untuk pranata sosial – sebagaimana diamanatkan konstitusinya ((UU No 33 tahun 2009).  

Apalagi bermartabat di negeri sendiri maupun di mancanegara – sebagaimana diamanatkan oleh SK Presiden No 25 tahun 1999 tentang Hari Film Nasional.

Film Indonesia hanya bergaung dalam pencitraan kepentingan industrialis oligarki  melalui statistik angka produksi, perolehan jumlah penonton di bioskop, dan gerakan-gerakan ala buzzer dalam membangun persepsi.

Saya mulai dengan ‘Rezim Jokowi’ sebagai subyek kalimat dalam judul tulisan ini.

Rezim adalah sistem dan seperangkat aturan, kebijaksanaan, norma-norma, kondisi sosial budaya – yang mengatur operasi suatu pemerintah atau lembaga serta interaksinya dengan masyarakat. Rezim adalah tata pemerintahan yang berkuasa dan menguasai secara total.

‘Gagal Pertahankan Martabat’ adalah predikat yang menyertainya, produk yang diakibatkan oleh perbuatan rezim.

Sesungguhnya ada upaya, kehendak, kemauan, untuk mempertahankan martabat Film Indonesia–  melalui berbagai teks kebijakan maupun pernyataan-pernyataan resmi otoritas negara, namun tidak terbuktikan hasilnya dalam fakta. Dalam banyak implementasi kebijakan malah mendegradasi martabat Film Indonesia, melalui beberapa faktor, antara lain: korupsi, kolusi, nepotisme. Dalam konteks perfilman saya sering menyebutnya sebagai persekongkolan.

‘Film Indonesia’ dalam hal ini adalah obyek penderita.

Selanjutnya saya memulai dengan merawat ingatan.

Pada Sabtu 16 Desember 2014 – tiga bulan setelah dilantik menjadi Presiden, Jokowi tampil dalam perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) di Palembang. “Karya film adalah wajah kita sebagi bangsa. Semoga Film Indonesia makin dicintai rakyatnya dan digemari di negara lain.” Demikian antara lain isi pidatonya. “Yang jelas, film akan menjadikan kekuatan ekonomi kreatif yang pada akhirnya menambah devisa.”

Kehadiran Jokowi di ajang FFI itu, viral dengan dipersepsikan sebagai pertamakali dalam sejarah, Presiden Indonesia hadir dalam ajang FFI. Pada tahun 2014 itu, penyelenggara FFI adalah Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang dibentuk pada tahun sebelumnya, diasumsikan sebagai representasi masyarakat perfilman.

Hal yang menandai adanya ‘penguasaan total bersemangat rezim’ – selain penyelenggara FFI yang semula dilaksanakan oleh Panitia Pelaksana dengan kawalan masyarakat perfilman, berubah menjadi proyek fasilitasi pemerintah, penyelenggaraannya oleh lembaga semi-permanen bernama BPI, mekanisme administrasinya melalui tender oleh Badan Hukum Perusahaan.

Berbagai kebiasaan/tradisi dalam pelaksanaan FFI dirombak secara totaliter, termasuk sistem penjurian.