Mengurus Sensor Film Kekinian

Cobalah mengurus sendiri sensor video atau film yang kita buat ke Lembaga Sensor Film Indonesia. Bagaimana prosesnya, ribet atau mudah?

Sebenarnya saya paling malas kalau harus berhubungan dengan birokrasi. Karena dalam benak saya berurusan dengan birokrasi ribet, harus bolak-balik ke sana kemari demi mendapatkan selembar surat izin tertentu, harus menyiapkan dokumen-dokumen untuk persyaratannya. Ini melelahkan secara fisik dan mental, belum lagi kalau ditolak.

Pada akhirnya bisa jadi lingkaran setan. Masyarakat untuk memperlancar semua urusan dengan lembaga-lembaga birokrasi, ujung-ujungnya harus mengeluarkan duit. Suap menyuap terjadi, korupsi bukan hal baru lagi.

Sampai kemudian saya mendapat tugas dari sebuah lembaga internasional yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa agar film-film dokumenter yang saya buat untuk lembaga itu didaftarkan ke Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia untuk disensor. Rencananya film-film itu akan diputar dalam sebuah event yang diselenggarakan di sebuah bioskop di seputaran Senayan, Jakarta.

Agak ragu saya menerima penugasan ini. Namun, akhirnya saya terima juga. Ini tantangan untuk keluar dari zona nyaman. Ini adalah pengalaman pertama kali saya mendaftarkan film untuk disensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia.

Akhirnya, saya mulai riset bagaimana cara mengajukan permohonan sensor film. Dapatlah beberapa nama kontak yang segera saya hubungi. Langsung tersambung dan responsnya cepat, yang melayani saya bernama Akbar, staf kesekretariatannya. Ia lalu mengarahkan saya untuk mengakses nomor kontak e-SiAS, layanan online untuk pendaftaran penyensoran film dan iklan film.

Saya kontak nomor itu dan responsnya cepat dan bagus pula. Saya diinfokan soal alur pendaftarannya, syarat pendaftaran, dan juga untuk registrasi akun aplikasinya. Ya, pendaftaran penyensoran film sekarang sudah menggunakan aplikasi!

Proses pengambilan gambar film dokumenter tentang isu perburuhan di kapal penangkapan ikan yang disponsori kantor ILO Jakarta dan ILO Geneva, Swiss. ILO merupakan organisasi buruh di bawah PBB.
FERI LATIEF UNTUK KOMPAS

Proses pengambilan gambar film dokumenter tentang isu perburuhan di kapal penangkapan ikan yang disponsori kantor ILO Jakarta dan ILO Geneva, Swiss. ILO merupakan organisasi buruh di bawah PBB.

Dari info tersebut, saya mendapatkan keterangan bahwa karena film saya hanya diputar dalam acara khusus, maka syarat pengajuan sensornya lebih mudah. Ini berlaku untuk komunitas, organisasi massa, atau lembaga swadaya masyarakat, bukan perusahaan atau eksportir film.

Saya hanya harus melengkapi SKPF (surat keterangan pencatatan film) atau surat rekomendasi sensor dari Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sinopsis Film, Materi Sensornya, dan Surat Penyelenggaraan Festival dan Event. Kalau perusahaan film yang mengajukan, syarat akan lebih panjang.

Walau film-film ini saya yang membuatnya, tetapi milik lembaga PBB yang mensponsorinya. Jika ingin mendaftarkan penyensorannya, saya harus memiliki surat kuasa dari lembaga PBB pemilik film-film tersebut. Saya pun dibekali surat kuasa.

Baca juga: Menyusur Jejak Penghuni Awal Nusantara di Misool, Raja Ampat

Syarat ini yang menurut saya paling membuat trauma: Surat rekomendasi dari Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek RI. Karena dalam benak sudah terbentuk opini, kalau berhubungan dengan birokrasi kementerian negeri ini akan repot. Demi tayang di bioskop, saya ajukanlah permohonan rekomendasi dari Kemendikbudristek.

Hari Senin, 20 Februari 2023, saya ajukan permohonan itu ke kantor Kemendikbudristek. Saya tak berharap cepat surat rekomendasi itu keluar, perkiraan saya seminggu juga belum tentu selesai. Sebab, tidak bisa diikuti prosesnya sampai mana, tidak transparan. Pembelian barang lewat e-commerce malah lebih jelas prosesnya, jadi bisa kita bisa lacak sudah sampai mana barang yang kita beli.

Saya tak menyangka bisa cepat mendapat surat rekomendasi dari kementerian dan tanpa biaya sepeser pun!

Ternyata saya underestimatedlho! Dua hari kemudian, 22 Februari 2023, surat rekomendasi berbentuk file PDF itu dikirim ke saya. Saya tak menyangka bisa cepat mendapat surat rekomendasi dari kementerian dan tanpa biaya sepeser pun! Akan lebih baik memang jika lebih transparan dan bisa dilacak prosesnya.

Selanjutnya, hari itu juga saya mendaftarkan penyensoran film online lewat aplikasi e-SiAS. Pertama saya harus regsitrasi di aplikasi, yang syarat registrasinya adalah surat rekomendasi dari Kementerian yang sudah saya dapatkan. Lalu, juga surat kuasa dari pemilik film.

Setelah regsitrasi, maka saya sudah bisa mendaftarkan film-film saya untuk disensor. Ada formulir yang cara mengisinya cukup di klik saja, kecuali untuk judul film dan durasi film yang harus kita isi sendiri.

Anggota Lembaga Sensor Film, Arturo Gunapriatna, berbicara dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran, Selasa (20/8/2019), di sebuah hotel di Yogyakarta.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Anggota Lembaga Sensor Film, Arturo Gunapriatna, berbicara dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran, Selasa (20/8/2019), di sebuah hotel di Yogyakarta.

Untuk materi film yang ukuran file-nya di bawah 20 Mb bisa langsung diunggah. Kalau berukuran besar, cukup cantumkan link untuk unduh di surat permohonan yang kita unggah dalam form. Tak sampai 15 menit, lima film yang saya buat telah terdaftar di sistem e-SiAS. Untuk melacak sampai di mana proses sensornya, cukup mengeklik sensor status maka akan tampil sampai sejauh mana prosesnya.

Setelah terdaftar di sistem, selanjutnya adalah proses membayar. Bisa bayar online atau dengan tunai tetapi harus datang langsung ke sekretariatnya. Semuanya tercatat dan ada bukti pembayarannya. Mau tahu berapa biaya sensor lima film yang saya buat? Hanya Rp 69.904! Murah bukan?

Setelah membayar, barulah proses sensor film dimulai. Kita tinggal menunggu hasil dalam tiga hari kerja, dengan catatan tidak ada masalah dengan kontennya.

Tanggal 24 Februari 2023 atau dua hari setelah saya mendaftar lewat aplikasi, tiga dari lima film saya telah dinyatakan lolos sensor. Pada hari kerja ketiga, dua film saya berikutnya juga dinyatakan lolos sensor. Ada notifikasi dan surat lolos sensornya. Totalnya hanya lima hari kerja, dua hari kerja mengurus surat rekomendasi dari Kemendikbudristek dan tiga hari kerja untuk lolos sensornya. Cepat bukan?

Pengalaman produser film lainnya

Saya sempat bertanya kepada rekan-rekan produser film yang telah berpengalaman mendaftarkan sensor filmnya dengan sistemdaring. Sekadar untuk mengonfirmasikan saja, apakah memang layanan sensor film online secepat itu? Saya masih tak percaya dengan kecepatannya.

Nia Kunto, produser muda dari perusahaan Porta Film yang saya tanya mengenai proses pendaftaran sensor lewat online in, mengonfirmasi pengalaman yang saya alami. ”Yang aku tahu, biasanya kalau kayak gitu cepat sih,” Nia menjelaskan.

Ia biasanya mendaftar sensor untuk film noncerita dengan panjang 90-100 menit. Biayanya tidak sampai Rp 1 juta rupiah! Karena, kalau film noncerita berdasarkan daftar tarif yang dirilis Lembaga Sensor Film adalah Rp 2.056 per menit, film 100 menit hanya membayar Rp 205.600!

Lembaga Sensor Film (LSF) mengadakan paparan media tentang Laporan Tahunan LSF 2022 di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Lembaga Sensor Film (LSF) mengadakan paparan media tentang Laporan Tahunan LSF 2022 di Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Nia Kunto tidak pernah ada kendala dengan dokumen-dokumen syarat birokrasi. Yang sering menjadi kendala dan dikeluhkan para insan perfilman adalah, ”Lembaga sensor kalau motong sadis!” kata Nia.

Nia Kunto tidak menjelaskan lebih lanjut. Namun, dari persfektif ini bisa dilihat kerja keras yang melibatkan puluhan bahkan ratusan insan kreatif perfilman kadang harus berakhir di ”gunting” LSF.

Kita bisa membandingkan kemudahan mendaftar sensor online Nia Kunto dengan pengalaman Bimo Gaban, pekerja lepas perfilman. Bimo dulu sempat bertugas mendaftar sensor film saat masih dengan sistem offline. Ia pernah bekerja di D Big Daddy dan IFI Sinema.

Terakhir, ia mendaftar untuk sensor film tahun 2019. Prosesnya lebih lama. Untuk menyiasati agar lebih cepat ia punya cara tersendiri. ”Saya selalu dafar waktu script-nya sudah lock dan sebelum shooting film dimulai,” jelasnya.

Selanjutnya ketika proses editing dan pictlock, ia harus menunggu seminggu. Lalu dipanggil untuk preview film, kemudian disensor yang mengandung konten-konten tertentu.

”Kalau ada adegan darah atau rokok atau yang agak berbahaya dengan kata-kata kotor dan lain-lain,” katanya lagi.

Berapa lama proses dari mendaftar sampai lolos sensor? ”Kalau dari pictlock itu mungkin kira-kira dua minggu sampai satu bulan. Namun, aku pernah ngurus sampai empat bulan. Pas mau tayang baru jadi!” kenang Bimo.

Perbaikan di Lembaga Sensor Film

Apa yang dialami Bimo Gaban tampaknya ke depannya tidak akan terjadi lagi karena cara pendafaran sensor terus dibenahi. Seperti yang disampaikan oleh anggota LSF, Erri Rosdy.

”Sistem itu sudah kami perbaiki sejak tahun 2021. Walaupun begitu, sampai sekarang masih tetap dilakukan perbaikan,” tegas Erri.

Sebelumnya, proses pendaftaran sensor disinyalir menjadi permainan beberapa orang untuk mencari keuntungan. Pengalaman rekannya yang juga anggota LSF periode sekarang, dulu pernah mengalami sendiri, harus mengeluarkan dana lebih untuk penyensoran dan kaget saat menjabat sebagai anggota LSF, mendapati bahwa resminya biaya yang harus dibayar sangat jauh di bawah itu.

Banyak yang perlu dibenahi, seperti masalah administrasi pendaftaran. Sampai sekarang, pembayaran masih dimungkinkan dilakukan secara langsung.

”Diharapkan pembayaran sudah dilakukan secara online 100 persen. Pembayaran tersebut langsung masuk ke kas negara, bukan ke LSF,” katanya.

Lalu bagaimana LSF menyikapi membanjirnya film-film dan konten-konten yang ditayangkan langsung melalui media internet?

Erri menjelaskan dua strategi LSF untuk menyikapinya. ”Yang pertama, mengembangkan budaya sensor mandiri dalam masyarakat. Mengajak masyarakat meningkatkan awareness dalam menghadapi tekanan teknologi informatika,” ujarnya.

Lebih lanjut, Erri menjelaskan apa yang dimaksud dengan budaya sensor mandiri. ”Melatih masyarakat untuk dapat bersikap lebih tegas terhadap konten perfilman Indonesia.”

Yang kedua, LSF mengimbau kepada para pembuat film atau rumah produksi untuk menyensorkan filmnya sebelum diedarkan ke masyarakat. ”Dengan memperoleh STLS (surat tanda lulus sensor), artinya LSF ikut bertanggung jawab apabila dalam peredarannya memperoleh permasalahan,” tegas Erri Rosdy.

Mengubah format "file" film

Namun teryata, ada lagi proses yang harus dilalui agar film kita bisa diputar di bioskop: format file film yang kita buat harus disesuaikan dengan kebutuhan bioskop! Selama ini, kalau kita membuat video atau film untuk tayang di internet, seperti kanal YouTube dan media sosial lainnya, cukup menggunakan format file MP4 atau MOV. Untuk bioskop file-nya berbeda, harus berformat DCP atau digital cinema package.

Kelabakan saya karena tak pernah menggunakan format itu. Saya cari di internet jasa untuk mengubah format ke DCP, harganya fantastis! Hitungan harganya per detik. Jadi, kalau film panjang, biayanya bisa puluhan juta. Ada yang menawari saya Rp 10 juta, ada juga yang sampai Rp 24 juta untuk lima film yang saya buat.

Proses pengambilan gambar film dokumenter tentang isu perburuhan di kapal penangkapan ikan yang disponsori kantor ILO Jakarta dan ILO Geneva Swiss.
FERI LATIEF UNTUK KOMPAS

Proses pengambilan gambar film dokumenter tentang isu perburuhan di kapal penangkapan ikan yang disponsori kantor ILO Jakarta dan ILO Geneva Swiss.

Akhirnya, saya putuskan untuk mengubah sendiri ke format DCP. Saya dan anggota tim kerja mencari tahu bagaimana caranya mengubah format secara mandiri. Untungnya, pihak bioskop menyarankan untuk menggunakan perangkat lunak tak berbayar, DCP O-Matic yang bisa diunduh di internet. Ini sangat membantu sekali insan perfilman, terutama film-film indi agar tak harus mengeluarkan dana besar untuk bisa tayang di bioskop.

Sempat gagal, akhirnya kami bisa mengubah ke format DCP dan penayangannya di bioskop pun sukses. Semua kemudahan proses pendaftaran sensor sampai perangkat lunak gratis ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku ekonomi kreatif.

Saya membayangkan, kalau semua proses produksi, perizinan, sensor, dan lain sebagainya dalam dunia kreatif lebih dimudahkan lagi, akan banyak penggiat seni budaya bersemangat membuat produksi-produksi kreatif, seperti musik, pertunjukan, dan film-film.

Mereka mencari dana sendiri, membuat pertunjukan sendiri, mengurus sensornya sendiri, sampai menyewa bioskop sendiri untuk menayangkannya. Apalagi, jika misalnya pemerintah mau membangun bioskop-bioskop yang bersewa murah untuk film-film indi bisa tayang. Ini agar dunia perfilman tak dikuasai pemilik modal besar yang menentukan siapa yang berhak tayang di bioskopnya.

Maka, semua akan indah pada waktunya!

Feri Latief, Jurnalis Foto, Tinggal di Cibubur