Kurnia Yudha Fitranto, Film Dokumenter adalah Aliran Darah

Siapa pun yang terlibat dalam Festival Film Dokumenter tak ada yang menerima honor. Demikian pula dengan Gembul dan istrinya, Alia Damaihati. Tapi, cinta membuat mereka betah.

Kurnia Yudha Fitranto yang akrab dengan panggilan Yudha Gembul, pendiri Komunitas Film Dokumenter Yogyakarta pada Sabtu (1/4/2023)
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Kurnia Yudha Fitranto yang akrab dengan panggilan Yudha Gembul, pendiri Komunitas Film Dokumenter Yogyakarta pada Sabtu (1/4/2023)

Berkutat di Festival Film Dokumenter Yogyakarta jelas tak memberi materi. Kepala malah “cenut-cenut” sebab harus mencari biaya penyelenggaraannya. Toh, Kurnia Yudha Fitranto (39) bertahan. Selama 18 tahun ia setia kepada festival tahunan tersebut kqrena film dokumenter telah menjadi alirah darahnya.

Seperti kebanyakan seniman di Yogyakarta, Gembul, begitu dia biasa disapa, tak merasa bahwa dia orang penting di jagat perfilman dokumenter. “Ah jangan-jangan salah orang? Saya ini bukan siapa-siapa," katanya bertubi-tubi pada awal April 2023 di Yogyakarta, ketika Kompas meminta waktu untuk bertemu.

Padahal ia bersama kawan satu tim menyabet piala Citra katagori Film Dokumenter Terbaik untuk film berjudul Denok dan Gareng pada tahun 2013. Film lain karya Gembul beberapa kali diputar di festival film bergengsi sepertiBerlinale International Film Festival,International Documentary Film Festival Amsterdam dan Yamagata International Documentary Film Festival di Jepang.

Tapi begitulah Gembul. Pada awal obrolan ia agak kikuk, tetapi kemudian bercerita dengan lancar perihal pahit manis berada di jalur film dokumenter. Hampir separuh hidup alumnus SMAN 1 Blitar, Jawa Timur itu ia habiskan sebagai aktivis yang memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Sebelum mengurus Festival Film Documenter (FFD), Gembul yang di tahun 2001-2002 menjadi mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sastra Perancis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tercatat sebagai demonstran.

Baca juga: Gita Mengalunkan Kepedulian

Kala itu, kota Yogyakarta pada paska reformasi ramai lagi oleh demonstrasi mahasiswa yang mempersoalkan status badan hukum milik negara yang memberi otoritas kepada civitas akademika perguruan tinggi negeri yang memiliki status itu melakukan kebijakan secara mandiri termasukbidang keuangan. Mahasiswa, termasuk Gembul memprotesnya karena merasa status itu merugikan kepentingan sebagian besar mahasiswa.

Sebagai jurnalis kampus, ia sebenarnya sudah memprotesnya lewat tulisan di buletin fakultas tapi tak ada respons sesuai harapan. Gembul merasa kampus sudah mentok. Lalu ikutlah ia berdemo. Sosoknya sebagai tukang demo dengan identitas kemeja flannel cukup dikenal di kalangan mahasiswa di kota pelajar tersebut.

Kurnia Yudha Fitranto alias Yudha Gembul
ARSIP PRIBADI

Kurnia Yudha Fitranto alias Yudha Gembul

Pada saat itu Elida, kakak angkatannya di UGM menawari untuk ikut mengurus bioskop bernama "Kinoki Bukan Bioskop Bukan Coffeshop" yang memutar aneka film termasuk film dokumenter dari manca negara secara gratis setiap malam. Pengelola membuat semacam coffe shop yang menjual makanan dan minuman. Dengan penjualan makanan dan minuman itulah Kinoki berupaya menutup biaya sewa tempat dan menyewa film.

Gembul tak hanya mengenal film dokumenter tetapi juga belajar memanejemeni Kinoki agar tetap berjalan dengan baik. Kinoki kemudian menjadi tempat para mahasiswa Yogya termasuk Gembul mendapat alternatif belajar media selain lewat menulis dan demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi.

Tak hanya mengambil film sewaan yang akan diputar setiap malam, ia kemudian menjadi manajer di sana. Dari Kinoki, ia lantas diajak kawan berkumpul dengan komunitas film dokumenter yang acap kali memutar film yang menginspirasi misalnya mengenai media perlawanan yang lain pada tahun 2005. Selain komunitas, waktu itu sudah ada FFD yang berdiri tahun 2002. Festival tersebut berdiri tahun 2002 atas inisasi Rumah Tembi Yogyakarta.

Di awal menjadi volunteer di FFD, ia melihat film dokumenter produksi TVRI mendominasi pendaftar peserta FFD walau ada pula peserta umum yang datang baik dari Yogyakarta maupun luar kota.“Sebagian besar pendaftar dari televisi karena memang pengetahuan kita juga terbatas. Ternyata seiring pertemuan dan berjalannya waktu, banyak juga film dokumenter yang tak melulu berbentuk seperti konsumsi TVRI (pada masa itu),” tuturnya di kantor FFD di Yogyakarta. Apalagi FFD kemudian bisa menghadirkan pembuat film dokumenter terkenal dari mancanegara yang sedia berbagi ilmu. Misalnya pada FFD akhir tahun lalu mereka menghadirkan Chalida Uabumrungjit (Thai Film Archive) dari Thailand dan Jewel Maranan dari Filipina.

Baca juga: Edwin Makarim Januar, Memupus Jejak Hiperbilirubin dengan Seni Rupa

Berikutnya FFD tak hanya memutar film, memilih film terbaik namun juga diisi dengan pelatihan serta diskusi. Jenis pelatihannya juga terus bertambah, misalnya penulisan naskah film, pengembangan naskah, lalukelaskritik film agar juga melahirkan kritikis muda. Selain pembicara dari luar negeri, FFD juga mengundang sineas dalam negeri seperti Riri Riza dan Ifa Isfansyah.

Gembul bersama kawan-kawannya juga terus menggiatkan pengenalan film dokumenter dan mengenalkan jenis film yang tak popular di mata sebagian besar orang tersebut ke sekolah-sekolah. “Kami tidak mengajarkan bagaimana cara membuat film melainkan mengajarkan literasi ke sekolah. Kami memutar film dokumenter di sana. Saya melihat film dokumenter sebenarnya bisa menjadi cara lain bagi siswa untuk belajar pelajaran di sekolah,” jelas Gembul.

Pada zaman seperti sekarang, pemakaian teknologi tak terhindarkan lagi, sedangkan sekolah masih mengajarkan siswa lewat membaca buku pelajaran yang isi dan bentuknya tak berubah sejak dulu hingga sekarang. Di benak Gembul, bahan ajar yang sudah disesuaikan dengan era terkini bisa dibuat dalam bentuk film yang kapanpun bisa diputar di sekolah sebagai media pembelajaran. Cara menonton film pelajaran yang dikemas secara menarik ia yakini akan jauh lebih menarik bagi pelajar.

Kurnia Yudha Fitranto alias Yudha Gembul
ARSIP PRIBADI

Kurnia Yudha Fitranto alias Yudha Gembul

Ia menyadari film dokumenter punya penggemar khusus, sehingga tak berkecil hati ketika yang menonton FFD hanya beberapa orang, sekarang jumlah penonton bisa sampai 3 ribu bahkan 4 ribu orang. Tempat penyelenggaraan yang semula di ruang kecil di banteng Vredeburg, sekarang berkat kemitraan dengan pihak lain sudah diadakan di tempat lebih besar. Penonton sejak awal juga sudah menentukan akan nonton film apa di FFD.

Sementara dari jumlah peserta lomba film dokumenter pendek mencapai 80-an film, film panjang yang masa putarnya lebih dari 45 menit bisa sampai 12 film. “Jumlah pelajar yang mengirim film dokumenter tahun ini menurun. Saya tidak tahu sebabnya,” kata Gembul.

Terlanjur cinta

Sebagai lembaga non profit, saat ini kelangsungan FFD bergantung kepada pengurusnya. Itu yang membuat Gembul dan istrinya, Alia Damaihati, harus berusaha amat keras untuk mencari biayanya. Selama ini siapa pun yang terlibat dalam penyelenggaraan FFD tak ada yang menerima honor. Demikian pula dengan Gembul dan istri. Bahkan sudah biasa dirinya sebagai Direktur FFD justru mencari uang untuk penyelenggaraan festival dari penghasilannya membuat film atau pekerjaan dari pihak lain.

Hal itu yang membuat aktifis FFD pada akhirnya mundur satu persatu. Para mahasiswa volunteer pun maksimal hanya bertahan dua tahun. Mengenai keputusan mereka, lelaki yang akhirnya tak meneruskan kuliah yang tinggal membuat skripsi itu tak bisa menyalahkan. “Saya fair saja, mereka kan butuh untuk hidup dan musti punya pekerjaan tetap,” tuturnya.

Baca juga: Sabina Tisa: Selalu ”Sinau”

Tak diduga, pada FFD tahun 2022, Gembul dan tim mendapat bantuan pembiayaan dari pemerintah. Namun tetap saja mereka yang mengerjakannya tak pernah mendapat honor. Tahun lalu, sudah lebih maju, bisa mendapat uang bensin.

Tahun berikutnya, ia belum tahu apakah akan ada lagi bantuan atau tidak.

Kurnia Yudha Fitranto yang akrab dengan panggilan Yudha Gembul, pendiri Komunitas Film Dokumenter Yogyakarta pada Sabtu (1/4/2023)
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Kurnia Yudha Fitranto yang akrab dengan panggilan Yudha Gembul, pendiri Komunitas Film Dokumenter Yogyakarta pada Sabtu (1/4/2023)

Keadaan itu ia akui sangat memengaruhi kehidupannya berkeluarga, apalagi mereka sudah punya satu anak. Baik Gembul maupun Alia sama –sama tak mau meninggalkan FFD saking terlanjur cinta kepada kegiatan untuk membuka wawasan masyarakat itu. Lagipula Gembul, si bungsu dari tiga bersaudara itu merasa sudah banyak mendapat kebaikan dari keaktifannya di FFD. Antara lain ia bisa ikut pelatihan membuat film dokumenter di negara lain sehingga sekarang ia sudah menjadi cameraman dan pembuat film dokumenter. Tampaknya, film dokumenter telah menjadi aliran darahnya.

Baca juga: Laufey Membawa Kembali Keajaiban Jazz

“Berat sekali membuat pengaturan antar kami. Sebenarnya ada tawaran bekerja secara tetap, tapi itu sulit bagi kami karena harus ke Jakarta. Saya dan istri sekarang gantian mengurus FFD. Pagi saya ke kantor, sore gantian istri saya. Cara ini juga agar dia tak jenuh sebab mengurus anak dan rumah itu sangat melelahkan,” ujar Gembul.

Bagaimanapun Gembul dan istrinya terus berharap FFD terus diadakan, bahkan diperluas ke daerah lain dan mendapat tempat pemutaran yang layak untuk menjadi tempat nonton film agar masyarakat bisa menikmatinya selayaknya nonton film di bioskop.

Kurnia Yudha Fitranto

Tempat Lahir:Blitar, Juli 1983

Pendidikan :

Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (2001-2010, tak selesai)

2002-2006 : -Program Non Gelar Jurusan Sastra Perancis Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2002-2006, tak selesai)

Jabatan : Direktur Forum Film Dokumenter-Festival Film Dokumenter

Penghargaan (antara lain) :- Meraih Piala Citra katagori Film Dokumenter Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2013 untuk film Denok dan Gareng

-Silver Hanoman and Netpac Award at Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2013

-Honorable Mention di Jakarta Independent Film Festival 2022

-Nomine diFestival Film Indonesia 2022

-Nomine di Piala Maya 2023