Review Film: Suzzanna Malam Jumat Kliwon

Review film: Suzzanna Malam Jumat Kliwon mungkin agak lebih baik dari sebelumnya, tapi tetap saja bikin dongkol.

Review Film: Suzzanna Malam Jumat Kliwon
Jakarta, CNN Indonesia --

Sudah kedua kalinya saya melihat film saga Suzzanna Reborn, kedua kalinya pula saya belum melihat sisi spesial rilisan serial ini selain daripada melihat Luna Maya menjadi sosok mendiang Ratu Film Horor Indonesia.

Meski begitu, Suzzanna: Malam Jumat Kliwon mungkin bisa saya bilang agak lebih baik dibanding saga pertama yang rilis pada lima tahun lalu, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018).

Nilai "agak lebih baik" di atas saya berikan untuk pembuatan cerita garapan Ferry Lesmana, Sunil Soraya, dan Tumpal Tampubolon yang lebih mulus dibanding sebelumnya. Meski tetap saja terasa kaku dan ngalor-ngidul.

Memang, saya memahami bahwa film ini sejatinya menghidupkan kembali film-film Suzzanna rilisan Soraya Intercine Film tanpa harus terpaku dengan cerita asli yang rilis lebih dari 30 tahun silam.

Namun justru karena tidak harus terpaku itulah, saya mengharapkan penggarapan cerita yang lebih serius bukan hanya mengandalkan kualitas kamera dan digitalisasi, apalagi riasan prostetik.

Apalagi dengan kemajuan kemampuan penulisan naskah sineas lokal saat ini, melihat penggambaran dari naskah dua film Suzzanna Reborn malah bikin dongkol dan geregetan.

Arwah Suzzanna gentayangan untuk membalas dendam dalam wujud hantu sundel bolong usai menjadi korban santet.Review film: Suzzanna Malam Jumat Kliwon mungkin agak lebih baik dari sebelumnya, tapi tetap saja bikin dongkol. (dok. Soraya Intercine Film via IMDb)

Hal itu lantaran potensi kengerian dalam kisah legendaris film-film Suzzanna tidak terberdayakan dengan optimal. Selain itu, dua film ini cuma terlihat sebagai sajian gimik adegan ikonis film Suzzanna dengan kamera yang lebih canggih dan cerita ala-ala dekade '80-an.

Meski begitu, saya harus mengakui kualitas produksi, set, kostum, riasan, hingga prostetik yang digunakan dalam dua saga Suzzanna Reborn ini jauh lebih bagus dibanding dulu.

Efek darah, bola mata, ledakan, rumah, kostum, hingga adegan Luna Maya terbang dan nangkring di atas pohon jadi kepuasan tersendiri bagi saya dari Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.

Pada film sebelumnya, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur pun tak jauh berbeda. Hanya saja, dari segi atmosfer latar dan tampilan di layar, saya lebih memilih Malam Jumat Kliwon.

Akan tetapi, saya masih belum puas melihat penampilan Luna Maya dalam saga kedua ini. Terlepas dari gaya aktingnya yang sudah lebih luwes meniru Suzzanna, Luna masih terasa ganjil menjadi sosok legenda itu.

Saya menduga, semua berkaitan dengan riasan prostetik yang ia gunakan. Pada sebagian angle kamera, riasan prostetik yang digunakan Luna terlihat terlalu tebal dan membuat wajahnya jadi lebih besar dan tidak proporsional dengan bahunya.

Lanjut ke sebelah..