Review Film: Blue Beetle

Review film Blue Beetle: film ini bisa menjadi sajian menarik di tengah situasi superhero fatigue yang banyak melanda penonton

Review Film: Blue Beetle
Jakarta, CNN Indonesia --

Blue Beetle bagi saya menjadi sajian menarik di tengah situasi superhero fatigue yang banyak melanda penonton, dan cerita film superhero yang itu-itu saja.

Lewat Blue Beetle, sutradara Angel Manuel Soto dan penulis Gareth Dunnet-Alcocer jelas berusaha keras menyajikan film superhero yang terasa berbeda.

Mereka menyajikan kisah superhero berlatar Latin pertama, lengkap dengan eksplorasi penuh bumbu. Namun bagi saya, esksplorasi itu berbuah manis.

Hasil racikan Soto dan Dunnet-Alcocer dalam Blue Beetle bagi saya menjadi penawar superhero fatigue dan kehambaran cerita film pahlawan super selama separuh dekade terakhir.

Soto dan Dunnet-Alcocer sangat teliti dalam menghadirkan detail-detail kecil yang menciptakan adegan-adegan yang khas dalam kehidupan keluarga Latin di Amerika Serikat.

Dinamika komunikasi antara Jaime dan keluarganya yang menjadi inti perjalanan cerita seolah membuat saya menyaksikan telenovela dengan twist superhero sebagai garnis.

Film Blue Beetle (2023). (Warner Bros. Pictures)Review film Blue Beetle: film ini bisa menjadi sajian menarik di tengah situasi superhero fatigue yang banyak melanda penonton. (Warner Bros. Pictures)

Menyelipkan unsur-unsur budaya dan referensi ke dalam sebuah film seperti Blue Beetle saya rasa bukan perkara mudah.

Namun, dengan risiko yang diambil tersebut, Soto bersama Blue Beetle berhasil menampilkan karakter yang tulus dan mampu beresonansi dengan penonton.

Salah satu detail kecil yang tak terlewatkan oleh Soto adalah penggambaran kehangatan dan solidaritas keluarga Latin, yang menjadi salah satu pesan utama dalam film ini.

Soto menguatkan detail tersebut dengan simbol-simbol representasi budaya populer Latin di seluruh dunia, sehingga menjadikan film ini ramah tonton bagi seluruh demografi.

Walau terkadang agak berlebihan pada beberapa adegan bertarung, Blue Beetle masih bisa menyelipkan humor segar yang menjaga mood penonton sepanjang film.

Namun lebih dari sekadar menyelipkan humor segar, Soto dan Dunnet-Alcocer masih menunjukkan hasil observasi tajam yang dapat menjadi alternatif kisah superhero di masa depan.

Seperti superhero Amerika kebanyakan, Blue Beetle masih menampilkan narasi fiksi ilmiah dalam ceritanya.

Akan tetapi, sekali lagi, kejelian Soto dalam merepresentasikan budaya Latin justru nilai penting yang menghindarkan film ini dari kisah klise superhero murahan.

[Gambas:Video CNN]

Sebenarnya Blue Beetle bukan film pertama dari semesta DC Extended Universe di bawah komando James Gunn dan Peter Safran, meski karakternya masih masuk semesta tersebut.

Namun Blue Beetle menampilkan diri sebagai film yang memiliki nilai lebih di tengah lingkungan multiverse DCEU ala Gunn dan Safran yang ambisius.

Sehingga, Blue Beetle sebenarnya masih bisa mengambil momen meski sesaat sebelum film asli dari DCEU Gunn-Safran akan benar-benar rilis dalam beberapa tahun mendatang.

Apalagi, di tengah situasi Hollywood yang lahir carut marut karena demo penulis dan aktor serta film superhero yang mulai menjemukan, kepakan Blue Beetle semoga bisa memantik ulang antusiasme penonton di luar sana.

[Gambas:Youtube]

(end)