Catatan Perfilman Indonesia Akan Dikembangkan Jadi Naskah Akademik

Rangkaian peringatan Hari Film Nasional 2023 diakhiri dengan penyerahan buku berisi rangkuman wajah perfilman Indonesia ke pemerintah. Buku itu memotret masalah dunia film dari hulu ke hilir.

Warga menonton tayangan fil di Indiskop yang berada di Pasar Jaya Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (23/10/2019). Indiskop hanya menayangkan film Indonesia dan menjadikan film nasional Indonesia tuan rumah di negara sendiri dengan harga tiket yang relatif terjangkau.
KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)

Warga menonton tayangan fil di Indiskop yang berada di Pasar Jaya Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (23/10/2019). Indiskop hanya menayangkan film Indonesia dan menjadikan film nasional Indonesia tuan rumah di negara sendiri dengan harga tiket yang relatif terjangkau.

JAKARTA, KOMPAS – Insan film Indonesia, yang diwakili Badan Perfilman Indonesia, menyerahkan buku Wajah Perfilman Indonesia ke pemerintah. Buku itu berisi rangkuman masalah dunia perfilman, analisis, data, hingga rekomendasi pengembangan industri film. Buku akan dikembangkan menjadi naskah akademik untuk mendorong penggantian Undang-Undang Perfilman.

Buku itu diserahkan pada Hari Film Nasional, Kamis (30/3/2023), ke perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Buku tersebut merupakan rangkuman dari Konferensi Film Nasional yang diadakan pada 6-11 Maret 2023 oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Konferensi melibatkan 47 narasumber, baik praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, hingga pemerintah.

“Setelah hasil konferensi ditelaah, tergambar bahwa industri film kita berlayar, tapi nahkodanya tidak punya kompas. Ia bahkan tidak menggunakan peta karena petanya sudah usang dan mesti diganti dengan yang baru,” kata Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru di Jakarta.

Suasana penyerahan buku berjudul "Wajah Perfilman Indonesia" ke perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Jakarta, Kamis (30/3/2023). Buku itu merupakan rangkuman dari Konferensi Film Nasional yang diadakan pada 6-11 Maret 2023 oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Konferensi melibatkan 47 narasumber, baik praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, hingga pemerintah.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Suasana penyerahan buku berjudul "Wajah Perfilman Indonesia" ke perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Jakarta, Kamis (30/3/2023). Buku itu merupakan rangkuman dari Konferensi Film Nasional yang diadakan pada 6-11 Maret 2023 oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Konferensi melibatkan 47 narasumber, baik praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, hingga pemerintah.

Hal tersebut merujuk pada UU Perfilman yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia perfilman. Gunawan mengatakan, pihaknya sudah menganalisis 38 undang-undang dan peraturan pemerintah. Hasilnya, UU Perfilman direkomendasikan untuk diganti.

Di sisi lain, UU Perfilman tidak harmonis dengan aturan tentang otonomi daerah. Pada UU Perfilman, pemerintah daerah diserahi urusan pengembangan perfilman di daerah. Namun, di aturan otonomi daerah, hal itu jadi kewenangan pemerintah pusat.

"Setelah hasil konferensi ditelaah, tergambar bahwa industri film kita berlayar, tapi nahkodanya tidak punya kompas."

Selain itu, pengembangan industri perfilman kini tak lagi bisa ditangani satu kementerian. Selain Kemendikbudristek, pihak lain yang mesti digandeng, antara lain, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Itu sebabnya, UU Perfilman dinilai perlu diganti. Upaya mengganti UU Perfilman telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Rancangan UU ini pernah masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR. Menurut Gunawan, kala itu, DPR belum melihat urgensi UU Perfilman mesti diubah.

Suasana pengambilan gambar untuk syuting film Cindolo na Tape (Cinta), di Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (15/2). Industri film di Makassar sedang bergeliat beebrapa tahun terakhir. Puluhan rumah produksi, belasan judul film, sejumlah sineas muda, dan miliaran rupiah lahir dari industri kreatif ini.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Suasana pengambilan gambar untuk syuting film Cindolo na Tape (Cinta), di Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (15/2). Industri film di Makassar sedang bergeliat beebrapa tahun terakhir. Puluhan rumah produksi, belasan judul film, sejumlah sineas muda, dan miliaran rupiah lahir dari industri kreatif ini.

Ia menambahkan, argumentasi untuk mengubah UU Perfilman kini tertuang di buku Wajah Perfilman Indonesia. Buku itu akan dikembangkan jadi naskah akademik dan akan diserahkan ke DPR tahun ini.

Kepala Kelompok Kerja Apresiasi dan Literasi Film Kemendikbudristek Edy Suwardi—mewakili Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra—mengatakan, kementeriannya mendukung pengembangan buku menjadi naskah akademik. Ia juga berharap agar buku ini bisa didistribusikan ke berbagai pemangku kepentingan.

Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Neil El Himam mengatakan, pihaknya sedang mengembangkan program insentif bagi pekerja film yang melakukan promosi budaya. Program ini juga akan disosialisasikan ke pemerintah daerah.

Baca juga : Lulusan Perfilman Belum Sesuai Kebutuhan Industri

Hulu ke hilir

Adapun buku Wajah Perfilman Indonesia mencuplik masalah perfilman Indonesia dari hulu ke hilir. Di sisi hulu, masalah ada di ketersediaan SDM. Keterampilan lulusan pendidikan film dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Akibatnya, mereka sulit diserap pasar kerja perfilman.

Saat ini, ada 21 perguruan tinggi dengan program studi perfilman dan 64 SMK film. Ada lebih dari 1.000 lulusan perfilman setiap tahun, namun tidak semuanya terserap di industri film.

Di sisi lain, belum semua SDM perfilman terstandar. Itu sebabnya BPI kini sedang menggencarkan sertifikasi melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang perfilman. Hingga kini setidaknya ada lebih dari 1.000 pekerja film yang sudah disertifikasi.

Muhammad Yazid (atas) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Muhammad Yazid adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Pandemi Covid-19 yang memukul industri film di tanah air berdampak pada para aktor pemeran figuran dan pengganti.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Muhammad Yazid (atas) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Muhammad Yazid adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Pandemi Covid-19 yang memukul industri film di tanah air berdampak pada para aktor pemeran figuran dan pengganti.

Sementara itu, di sisi hilir, fasilitas pemutaran film belum cukup. Bioskop masih perlu dibangun, khususnya di daerah, karena selama ini penyebaran bioskop terfokus di Jawa.

“Ada 289 produksi film saat ini dan 2.000 layar itu tidak cukup. Artinya, kita mesti membangun bioskop. Namun, pembangunan bioskop mesti melibatkan pemerintah daerah,” ucap Gunawan.

Baca juga : Susun Sistem Kerja Perfilman yang Aman dan Nyaman