Bagaimana kitab suci Hindu memengaruhi 'bapak bom atom' Oppenheimer

Sang ilmuwan nuklir menjadikan kitab suci Hindu Bhagavad Gita sebagai salah satu buku favoritnya.

Bagaimana kitab suci Hindu memengaruhi 'bapak bom atom' Oppenheimer
  • Soutik Biswas
  • Koresponden India, BBC News

Robert Oppenheimer

Sumber gambar, Getty Images

Oppenheimer, film thriller biografi baru karya Christoper Nolan tentang sang "bapak bom atom", telah tayang di bioskop dengan sambutan hangat di seluruh dunia.

Di India, film itu juga menjadi hit, tapi beberapa orang memprotes adegan yang menggambarkan sang ilmuwan membaca Bhagavad Gita, salah satu kitab paling suci dalam agama Hindu, setelah berhubungan seks.

Oppenheimer mempelajari bahasa sanskerta kuno dan menganggap buku tersebut sebagai salah satu favoritnya, tulis wartawan BBC Soutik Biswas.

Pada Juli 1945, dua hari sebelum ledakan bom atom pertama di gurun New Mexico, Robert Oppenheimer membacakan syair dari Bhagavad Gita, atau Nyanyian Tuhan.

Oppenheimer, seorang fisikawan teoretis, telah berkenalan dengan Sanskerta, bahasa India kuno, dan kemudian Gita, sebagai seorang guru di Berkeley bertahun-tahun sebelumnya.

Bhagavad Gita yang berusia 2.000 tahun adalah bagian dari Mahabharata - salah satu epos terbesar agama Hindu - dan dengan 700 bait, puisi terpanjang di dunia.

Sekarang, beberapa jam sebelum peristiwa yang akan mengubah sejarah, sang "bapak bom atom" meredakan ketegangannya dengan membacakan stanza yang telah dia terjemahkan dari bahasa Sanskerta:

Di medan perang, di hutan, di tebing pegunungan

Di lautan luas yang gelap, di tengah-tengah lembing dan anak panah,

Dalam tidur, dalam kebingungan, dalam kedalaman rasa malu,

Perbuatan baik yang telah dilakukan seseorang akan membela dirinya

Oppenheimer belajar dari Einstein

Sumber gambar, Getty Images

Seperti ditulis oleh Kai Bird dan Martin J Sherwin dalam biografi otoritatif mereka tentang Oppenheimer yang dirilis pada tahun 2005, American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J Robert Oppenheimer, Oppenheimer muda diperkenalkan dengan bahasa Sanskerta oleh Arthur W Ryder, seorang profesor bahasa Sanskerta di University of California, Berkeley.

Fisikawan berbakat itu bekerja di sana sebagai asisten profesor ketika usianya 25 tahun.

Ryder, seorang pendukung partai Republik dan "ikonoklas berlidah tajam", terpesona oleh Oppenheimer.

Sementara itu, Oppenheimer menganggap Ryder sebagai seorang "intelektual sejati", sarjana yang "merasa, berpikir, dan berbicara sebagai seorang stoik".

Ayah sang ilmuwan muda itu sepakat, mengatakan bahwa Ryder adalah "kombinasi luar biasa dari kesederhanaan yang di baliknya tampak jiwa yang sangat lemah lembut".

Oppenheimer - diperankan oleh aktor Cilian Murphy dalam biopik Nolan - juga menganggap Ryder sebagai pribadi langka yang menganut "pandangan hidup yang tragis, dalam artian mereka menerapkan pada tindakan manusia peran yang sangat menentukan dalam membedakan antara Keselamatan dan Kehancuran".

Tak lama kemudian, Ryder memberikan pelajaran privat bahasa Sanskerta kepada Oppenheimer setiap Kamis malam.

"Saya sedang belajar bahasa Sansekerta," tulis sang ilmuwan kepada adiknya Frank, "sangat menikmatinya dan menikmati lagi kemewahan belajar dengan guru".

Banyak kawan Oppenheimer menganggap obsesi barunya dengan bahasa India aneh, kata penulis biografi sang ilmuwan.

Salah seorang kawannya, Harold F Cherniss, yang memperkenalkan Oppenheimer kepada Ryder, berpikir itu "amat wajar" karena Oppenheimer memang menyimpan minat pada "hal-hal berbau mistis dan rahasia".

Jadi, pengetahuan Oppenheimer tentang bahasa Sanskerta dan Gita jelas relevan ketika menceritakan kisahnya.

Tetapi beberapa penganut Hindu sayap kanan protes - terutama tentang adegan seks Oppenheimer dengan kekasihnya Jean Tatlock, yang diperankan oleh Florence Pugh - mengatakan film tersebut menyerang agama mereka dan menuntut pemotongan adegan.

Oppenheimer (ketiga dari kiri) bersama sesama ilmuwan nuklir di dekat New Mexico

Sumber gambar, Getty Images

Tak diragukan lagi Oppenheimer adalah orang yang banyak membaca - dia mengikuti mata kuliah filsafat, sastra Prancis, Inggris, sejarah, dan sempat mempertimbangkan untuk belajar arsitektur, dan bahkan menjadi seorang sejarawan klasik, penyair, atau pelukis.

Dia menulis puisi dengan "tema kesedihan dan kesepian", dan merasakan "eksistensialisme tipis" yang digambarkan TS Eliot dalam puisinya The Waste Land.

"Dia menyukai hal-hal yang sulit. Dan karena hampir semuanya mudah baginya, hal-hal yang benar-benar menarik perhatiannya pada dasarnya adalah hal-hal yang sulit", kata Cherniss.

Dengan kemampuan bahasanya – Oppenheimer pernah belajar bahasa Yunani, Latin, Prancis dan Jerman dan menguasai bahasa Belanda dalam enam minggu – "tidak butuh waktu lama" sampai dia membaca Bhagavad Gita.

Dia menganggap kitab itu "sangat mudah dibaca dan cukup luar biasa" dan memberi tahu kawan-kawannya bahwa itu adalah "lagu filosofis terindah yang pernah ada dalam bahasa mana pun".

Di rak bukunya ada buku tersebut dengan sampul merah muda yang diberikan Ryder kepadanya; dan Oppenheimer sendiri sering memberikan buku tersebut sebagai hadiah kepada teman-temannya.

Para biografer menulis bahwa sang ilmuwan begitu "terpersona oleh pelajaran bahasa Sanskerta" sehingga pada tahun 1933 ketika ayahnya memberikannya sebuah mobil Chrysler, dia menamainya Garuda, nama dewa burung raksasa dalam mitologi Hindu.

Pada musim semi tahun itu, Oppenheimer menulis surat dengan bahasa berbunga-bunga kepada adiknya yang menjelaskan mengapa displin dan kerja selalu menjadi prinsip penuntunnya. Surat itu menunjukkan fakta bahwa dia terpesona oleh filsafat timur.

Dia menulis: "melalui disiplin, meskipun tidak cuma disiplin, kita dapat mencapai ketenangan, dan kebebasan yang sedikit namun berharga dari kecelakaan inkarnasi… dan ketidakterikatan yang menjaga dunia yang ditingalkannya".

Hanya melalui disiplin, imbuhnya, adalah mungkin untuk "memandang dunia tanpa terganggu oleh keinginan pribadi, dan dengan melihat demikian, dapat lebih mudah menerima penderitaan dan kengerian duniawi".

Oppenheimer mengutip baris dari Bhagavad Gita yang berbunyi "Sekarang aku telah menjadi Maut, penghancur dunia" — tertulis dengan debu di sebuah rudal nuklir yang telah dideaktivasi.

Sumber gambar, Getty Images

"Pada penghujung usia dua-puluhan, Oppenheimer tampaknya sedang mencari cara untuk terlepas dari keduniawian; dengan kata lain, dia ingin terlibat sebagai ilmuwan dengan dunia fisik, namun terpisah darinya," tulis para biografernya.

"Dia tidak sedang mencari pelarian ke alam spiritual murni. Dia tidak sedang mencari agama. Yang dia cari adalah ketenangan pikiran. Gita tampaknya menyediakan filosofi yang tepat untuk seorang intelektual yang sangat peduli dengan urusan manusia dan kesenangan inderawi".

Salah satu teks Sanskerta favoritnya adalah Meghaduta, sebuah puisi lirik yang ditulis oleh Kalidasa, salah seorang penyair terhebat dalam bahasa tersebut. "Meghaduta yang saya baca bersama Ryder, dengan gembira, ringan dan mempesona," tulis Oppenheimer kepada adiknya, Frank.

Mengapa Oppenheimer begitu bersemangat mempelajari Gita dan gagasannya tentang karma, takdir, dan kewajiban duniawi?

Penulis biografinya mencoba menebak: "Barangkali ketertarikan Robert terhadap fatalisme Gita setidaknya didorong oleh pemberontakannya sebagai orang dewasa terhadap apa yang diajarkan kepadanya saat masih muda", merujuk pada keterlibatannya dengan Ethical Culture Society, sebuah "aliran Yudaisme yang unik di Amerika yang menjunjung tinggi rasionalisme serta humanisme sekular yang progresif".

Yang pasti, Oppenheimer tidak sendirian dalam mengagumi teks Hindu ini. Henry David Thoreau pernah menulis tentang membenamkan dirinya dalam "filsafat Bhagavad Gita yang menakjubkan dan kosmogonal; dibandingkan dengannya, dunia modern kita serta kesusastraannya tampak begitu remeh dan sepele".

Heinrich Himmler juga seorang pengagum. Mahatma Gandhi adalah pengikut ajaran yang setia. Dan WB Yeats dan TS Eliot, dua penyair yang dikagumi Oppenheimer, juga pernah membaca Mahabharata.

Pemandangan awan jamur oranye raksasa yang muncul di langit setelah uji coba bom atom pertama membuat Oppenheimer kembali membuka Bhagavad Gita lagi. Bom yang akhirnya dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki selama Perang Dunia II menewaskan puluhan ribu orang.

"Kita tahu dunia tidak akan lagi sama. Beberapa orang tertawa, beberapa orang menangis. Kebanyakan orang diam," katanya kepada NBC dalam sebuah film dokumenter tahun 1965.

"Saya ingat baris dari kitab suci Hindu, Bhagavad-Gita; Wisnu (salah satu dewa tertinggi dalam agama Hindu) berusaha membujuk sang pangeran untuk melakukan tugasnya, dan untuk membuatnya terkesan, dia berubah wujud menjadi makhluk berlengan banyak dan berkata, "Sekarang aku telah menjadi maut, penghancur dunia'. Saya kira kita semua berpikir begitu, dengan satu atau lain cara."

Seorang kawan sang ilmuwan mengatakan kutipan tersebut terdengar seperti salah satu "ceramah berlebihan" Oppenheimer.

Namun, sang ilmuwan yang enigmatik itu tetap sangat dipengaruhi olehnya.

Ketika para editor The Christian Century meminta sang ilmuwan untuk mengungkap buku-buku yang paling memengaruhi pandangan filosofisnya, Les Fleurs du Mal karya Baudelaire menempati posisi teratas. Dan Bhagavad Gita menempati posisi kedua.