OSO "Disandera", KPU Dinilai Lakukan Tindak Pidana

BREAKINGNEWS.CO.ID- Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan perkara sengketa proses pemilu yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO). Dalam putusannya, hakim meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku pihak tergugat untuk segera melaksanakan hasil putusan.

OSO "Disandera", KPU Dinilai Lakukan Tindak Pidana

BREAKINGNEWS.CO.ID- Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan perkara sengketa proses pemilu yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO). Dalam putusannya, hakim meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku pihak tergugat untuk segera melaksanakan hasil putusan. 

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menegaskan bahwa KPU sebagai lembaga negara tak seharusnya melakukan tindakan melawan hukum. Hal tersebut dikatakan Petrus lantaran KPU tak mencantumkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT). 

"Sebagai Pimpinan Lembaga Negara di Komisi Negara yaitu KPU RI, maka tidak sepatutnya Arief Budiman dkk. selaku Komisioner KPU melakukan tindakan secara melawan hukum menolank (membangkangi) melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Berkekuatan Hujum Tetap, Final dan Mengikat, berupa mencantumkan kembali nama OSO dalam DCT," ujar Petrus kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/1/2019). 

Dikatakan Petrus, sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat serta harus dilaksanakan dalam waktu hanya tiga hari, maka KPU RI tidak punya pilihan lain selain melaksanakan putusan PTUN tersebut.

"Tidak ada lagi upaya hukum lain selain hanya melaksanakan putusan final dan mengikat itu sesuai dengan bunyi putusan Hakim," tegasnya. 

Menurut Petrus, pembangkangan terhadap putusan PTUN tersebut adalah Tindak Pidana. Oleh karena itu Penyidik Polda Metro Jaya berhak mengembangkan penyelidikan sangkaan pidana terhadap Komisioner KPU pada pasal pidana lain di luar yang dilaporkan oleh Kuasa Hukum OSO. 

Petrus menambahkan, pasal sangkaan melakukan kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 423 KUHP jo. pasal 227 KUHP. Pasal 423 KUHP berbunyi "seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk memgerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".  

Pasal 227 KUHP berbunyi "barang siapa melaksanakan suatu hak, padahal ia mengetahui bahwa dengan putusan hakim tadi telah dicabut, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah".

Ancaman Penjara 

Petrus menuturkan, berdasarkan Laporan Polisi dari Kuasa Hukum OSO, sesuai Tanda Bukti Laporan Polisi Nomor : TBL/334/1/2019/PMJ/Dit. Reskrimum dengan Terlapor Arief Budiman dkk, pasal sangkaan yang menjadi dasar atau rujukan penyelidikan dugaan Tindak Pidana adalah pasal 421 KUHP jo pasal 216 ayat (1) KUHP. 

"Namun demikian apabila dikaitkan dengan sikap Komisioner KPU yang membangkangi putusan PTUN Jakarta yang bersifat final dan mengikat tanpa alasan dan bukan sebagai upaya hukum, maka terhadap Arief Budiman dkk. dapat disangkakan melanggar ketentuan pidana pada pasal 423 KUHP jo. pasal 227 KUHP yang mengancam dengan pidana penjara enam tahun lamanya," katanya. 

Petrus menilai, sikap Komisioner KPU sebagai sebuah pembangkangan terhadap putusan Badan Peradilan Tertinggi yaitu Mahkamah Agung RI dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, terlebih-lebih karena putusan PTUN itu bersifat final dan mengikat, yang tidak boleh lagi dilawan dengan cara apapun, termasuk dengan cara melawan hukum. Artinya semua pintu sudah ditutup dan putusan hanya dilaksanakan. 

"Ini memberi kesan buruk bahkan noda hitam dalam pemerintahan Jokowi-JK terutama program Nawacita dan prinsip negara hukum. Mengapa, karena persoalan pembangkangan oleh pejabat negara dalam Institusi Negara terhadap putusan Badan Peradilan yang bersifat final dan mengikat serta mempunyai kekuatan eksekutorial, hanya bisa dilakukan oleh preman karena dibayar," tegasnya.  

Oleh karena itu Petrus menegaskan bahwa sikap pembangkangan tersebut jangan dianggap sebagai perbuatan sepele, karena berdampak pada pengrusakan sistim penegakan hukum dan kepastian hukum dengan daya rusak yang tinggi dalam pemerintahan Jokowi-JK. 

Nodai Asas Kepastian Hukum

Selain itu Petrus menilai, sebagai lembaga Demokrasi yang berfungsi melahirkan pemimpin bangsa, maka sikap Komisoner KPU telah memberikan contoh buruk dan tidak memberikan keteladanan kepada rakyat tentang bagaimana sikap menghormati putusan Pengadilan Yang berkekuatan hukum tetap dari putusan yang bersifat final dan mengikat serta dibatasi waktu pelaksanaannya. 

"Pembatasan waktu yang demikian karena ada kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilaksanakan. Karena itu mestinya setelah selasai batas waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan, nama OSO harus sudah dicantumkan agar  proses pemilu bisa terlaksana tanpa hambatan apalagi hambatan itu karena sikap Komisioner yang tidak taat hukum telah membawa noda hitam dalam demokrasi Pancasila," katanya.  

Namun yang terjadi kata Petrus, justru Komisioner KPU telah bertindak di luar mekanisme, prosedur dan kaidah hukum, mencederai prinsip negara hukum, membangkangi prinsip kepastian hukum yang seharusnya menjadi landasan dalam Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan menurut UU No. 14 Tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan. 

"Arief Budiman harus buang jauh-jauh sikap-sikap pribadi yang melawan hukum. Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap, final dan mengikat hanya boleh dilawan dengan upaya hukum dan upaya hukum itu sudah tiada lagi. Saatnya laksanakan putusan PTUN Jakarta dan jangan bersandar kepada putusan MK yang belum menjadi norma dan jangan pula bersandar pada pendapat pribadi Mahfud MD atau Bagir Manan yang mengatasnamakan mewakili ratusan atau ribuan ahli hukum tata negara," tegas Advokat Peradi ini.