Fadli Zon: Semua Lembaga Survei Jadi Konsultan Politik Sukseskan Kandidat Tertentu

BREAKINGNEWS.CO.ID - Pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) yang dilaksanakan serentak, tak lama lagi akan berlangsung, tepatnya pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Semakin dekatnya pesta demokrasi lima tahunan tersebut digelar, sejumlah lembaga survei pun tak ketinggalan dengan merilis survei terkait dengan pemilu dan pilpres.

Fadli Zon: Semua Lembaga Survei Jadi Konsultan Politik Sukseskan Kandidat Tertentu

BREAKINGNEWS.CO.ID - Pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) yang dilaksanakan serentak, tak lama lagi akan berlangsung, tepatnya pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Semakin dekatnya pesta demokrasi lima tahunan tersebut digelar, sejumlah lembaga survei pun tak ketinggalan dengan merilis survei terkait dengan pemilu dan pilpres.

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon pun turut menyoroti hasil survei beberapa lembaga survei di Indonesia. Dalam rilis survei tersebut terdapat beberapa hal yang jadi sorotannya yakni salah satunya soal hasil survei yang berbeda jauh antara lembaga survei yang satu dengan lembaga survei lainnya.

"Dua hari lalu, Rabu (20/3) Litbang Kompas merilis hasil survei yg kemudian jadi perbincangan nasional. Sebabnya, jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo, menurut survei Kompas tsb, telah terpangkas lebih dari 50 persen jika dibandingkan dgn survei-survei lembaga lainnya," tulis Fadli melalui akun Twitter-nya, @fadlizon seperti yang dilihat Breakingnews.co.id, Jum"at (22/3/2019).

"Lima hari lalu, misalnya, dlm publikasi SMRC, jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo masih terpaut 25,8 persen. Tapi dua hari lalu, menurut survei Kompas, jarak elektabilitas itu tinggal 11,8 persen. Dalam survei internal Prabowo-Sandi malah sudah unggul bbrp persen. Adanya selisih yg besar antara hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya yg dipublikasikan sepanjang bulan Maret ini tentu saja pantas membuat kita tersenyum," ujarnya.

Bagaimana tidak, kata Fadli, semua survei mengklaim dirinya obyektif, ilmiah, dan ketat secara metodik, namun survei-survei yang dilakukan pada waktu yang berdekatan itu, serta dipublikasikan hanya berselang hari, ternyata menghasilkan angka-angka dengan jurang yang menganga.

"Dan yang membuat senyum kita kian melebar, kemarin, Kamis, 21 Maret 2019, lembaga survei Indo Barometer juga telah mempublikasikan survei terbarunya. Hasilnya kembali drastis. Jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo kembali berada di atas 20 persen. Terus terang sy agak geli membacanya. Angka-angka survei yg timpang satu sama lain saya kira telah membuat publik kian tersadarkan bahwa tak ada lembaga survei yg independen di Indonesia," ucap Fadli yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Sebab, lanjutnya, semua lembaga survei yang ada telah merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu.

"Mereka bekerja seperti layaknya pengacara yg sedang membela kliennya. Mereka adlh bagian dari industri politik yg kerjanya mencari keuntungan," katanya.

"Coba sj lihat hasil Pilkada DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Semua lembaga survei meleset jauh, bisa ratusan persen. Artinya lembaga survei gagal total memotret realitas masyarakat sesungguhnya. Malah jadi "teror" terhadap lawan-lawan politik kliennya," imbuh Fadli.

Berbicara soal lembaga survei, Fadli mengatakan bahwa sejarah lembaga survei di Indonesia memang berimpit dengan tumbuhnya lembaga-lembaga konsultan politik.

"Itu sebabnya survei politik yg dipublikasikan di Indonesia tdk bisa dijadikan alat untuk memetakan pendapat publik, krn sebenarnya survei tsb digunakan untuk menggiring opini publik, dijadikan sbg alat framing, alat kampanye atau alat propaganda. Jadi, dalam dunia politik Indonesia, survei lebih merupakan infrastruktur imagologi, atau pencitraan. Itu sebanya akurasinya pantas dipertanyakan," ungkapnya.

"Ke depan, untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres, kita perlu menegaskan norma bhw ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat yg berlaga dalam Pemilu, maka mereka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye. Jadi, partai politik dan kandidat harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yg mereka pekerjakan," sambungnya.

Menurut Fadli, kita perlu merumuskan kebijakan semacam itu demi transparansi, sekaligus untuk melindungi hak-hak publik. Agar publik kemudian tahu lembaga survei A, misalnya, ternyata merupakan konsultannya partai X atau calon Y.

Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa dicerna secara kritis oleh publik pemilih. Dengan begitu, risiko terjadinya manipulasi hasil survei pun bisa terminimalisir.

"Ini merupakan cara yg fair untuk mengawasi lembaga-lembaga survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi, serta disinformasi yg dilakukan oleh mafia survei. Demokrasi kita harus kian transparan. Jangan sampai lembaga survei jadi predator demokrasi karena memanipulasi opini publik demi kepentingan klien mereka," tutup Fadli.