Musim Pagebluk Panggung Seni

Artina-Sarinah digagas sebagai sebuah upaya untuk menelisik kembali dan memberi ruang kepada karya-karya para seniman Nusantara. Upaya itu kini terhenti setelah PT Sarinah menutup ruang pamer artina-Sarinah.

“Saya tidak terima dengan cara mereka yang seperti ini. Sejatinya, artina-Sarinah juga menjadi tanggung jawab (PT) Sarinah, karena dua pameran terakhir yang kami buat di lantai 6 Sarinah itu jelas-jelas membawa nama mereka juga: ‘artina–Sarinah’,” kata Pemad, Sabtu (15/4/2023).

Sehari sebelumnya, Jumat (14/4), artina–Sarinah sudah sempat ditutup oleh manajemen PT Sarinah. Pemad lalu mengingatkan bahwa penutupan akan berimplikasi serius kepada PT Sarinah ke depan.

Namun, hari berikutnya pihak manajemen PT Sarinah justru memblok akses pengunjung menuju lantai 6, ruang pamer artina-Sarinah dengan mematikan lift dan eksalator. “Ini seperti pemberangusan. Menutup pameran beda dengan menutup toko,” keluh Pemad.

Salah satu sisi luar Gedung Sarinah, Jakarta, Jumat (11/3/2022).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)

Salah satu sisi luar Gedung Sarinah, Jakarta, Jumat (11/3/2022).

Preseden penutupan artina–Sarinah bermula dari keterlambatan pembayaran biaya security deposit, sewa ruangan, belanja modal, dan pemakaian listrik sebesar Rp 3,5 Miliar oleh PT Mojisa selaku penyewa ruang seni di lantai 6 Sarinah Thamrin seluas 1.800 meter persegi. Menurut Sekretaris Perusahaan PT Sarinah Haslinda dalam keterangan resmi, PT Sarinah melakukan kerjasama dengan Heri Pemad melalui PT Mojisa dengan skema sewa menyewa.

Menurut Pemad, total biaya sewa ruang seni lantai 6 Sarinah Rp 10 Miliar per tahun. Nilai sebesar itu tidak mungkin dibebankan ke manajemen seni. Oleh karena itu, jajaran direksi PT Sarinah pernah menjanjikan akan membantu, ikut menanggung biaya kegiatan dengan mencarikan sponsor.

“Sponsor memang didapatkan, tapi jumlah dukungan mereka tidak bisa menutup angka yang mereka tagihkan sebagai biaya sewa ruangan. Kami, pengelola kegiatan, jelas-jelas dirugikan bahkan merasa diperas, karena direksi Sarinah malah lepas tangan dari tanggung jawab mereka atas artina–Sarinah,” ungkapnya.

Pemad menyesalkan sikap direksi PT Sarinah yang memperlakukan artina-Sarinah seperti kegiatan yang dikerjakan oleh penyewa gedung yang ngemplang. Menurut dia, pihak direksi lupa bahwa keberadaan kegiatan seni di lantai 6 (dari pameran Distrik Seni 1 dan 2, lalu hingga artina #1 dan #2) berawal dari permintaan mereka sendiri.

Baca juga: Investasi Kebudayaan

“Merekalah yang menghubungi saya berkali-kali, meminta saya untuk membuat pameran/festival di lantai 6 yang semula mereka sebut sebagai 'cultural zone'. Mereka juga menjanjikan bantuan untuk pembiayaan kegiatan seni rupa yang saya gagas bersama teman-teman,” kata Pemad.

Penutupan artina–Sarinah terjadi saat artina–Sarinah sedang menggelar pameran artina#2:matrajiva yang dibuka pada 4 Maret 2023 hingga 31 Mei 2023. Pameran ini mempresentasikan karya-karya dari 22 seniman dan maestro Nusantara, seperti AD Pirous, Agus Suwage, Edward Hutabarat, Nyoman Nuarta, Riri Riza serta Mira Lesmana, Yori Antar, dan sebagainya.

Menurut Pemad, penutupan paksa artina-Sarinah di lantai 6 gedung Sarinah tidak sejalan dengan misi dan visi Sarinah yang digagas Soekarno. Tanpa Distrik Seni atau artina, punya apa Sarinah dengan slogan Panggung Karya Indonesia?," tambahnya.

Arsitek Yori Antar menampilkan karya berjudul "Di ajar ti Urang Baduy" dalam dalam pameran seni kontemporer artina#2:matrajiva di Sarinah, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Arsitek Yori Antar menampilkan karya berjudul "Di ajar ti Urang Baduy" dalam dalam pameran seni kontemporer artina#2:matrajiva di Sarinah, Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Langkah aneh

Agung Hujatnika, kurator artina–Sarinah menyebut, penutupan artina–Sarinah sebagai suatu langkah yang aneh karena tindakan itu dilakukan oleh PT Sarinah terhadap acara mereka sendiri. “Ini langkah yang sama sekali tidak strategis dan mencoreng muka mereka sendiri. Ini akan berdampak pada nama baik PT Sarinah sebagai BUMN,” paparnya.

Karena itulah, sebagai kurator, Agung merasa sangat kecewa, apapun alasannya. “Pemahaman mereka sangat minim tentang bagaimana kegiatan seni rupa diselenggarakan dan didukung. Pameran seni memang komoditas tetapi cara menjual dan mengemasnya berbeda dengan komoditas lainnya. Di sini ada nilai-nilai simbolik, bukan sekadar angka,” kata dia.

Menurut Haslinda, PT Sarinah telah melakukan upaya bersama mencari sponsor dari berbagai pihak untuk keberlangsungan artina-Sarinah, walaupun sebenarnya, sesuai kesepakatan usaha mendapatkan sponsor merupakan kewajiban pihak PT Mojisa. “PT Sarinah telah melakukan komunikasi intensif dan sesuai peraturan kami telah melakukan dialog dan memberikan surat peringatan beberapa kali,” ucapnya.

Sebagai BUMN yang harus menjalankan usahanya dengan asas Tata Kelola Yang Baik (Good Corporate Governance), kata Haslinda, PT Sarinah wajib menaati ketentuan dan kepatuhan bisnis yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan terutama saat dilaksanakannya audit kinerja usaha.

“PT. Sarinah menyadari, sebagai panggung karya Indonesia, kami mendukung dan berpihak kepada seni budaya nasional sebagai khittah dan amanahnya. Namun, kami pun juga bertanggung jawab penuh sebagai perusahaan yang mempunyai tata kelola yang baik dan memperhatikan aspek komersial di dalamnya,” tambah Haslinda.

Investasi yang mungkin lambat menghasilkan keuntungan finansial bisa jadi sangat cepat membawa manfaat sosial.

Artina digagas Pemad sebagai sebuah upaya untuk menelisik kembali dan memberi ruang kepada karya-karya para seniman Indonesia. Artina yang merupakan gabungan dari art (seni) dan ina (Indonesia) didedikasikan untuk perkembangan seni dan seniman di Indonesia.

Artina yang kemudian digelar di Sarinah merupakan sebuah kegiatan festival seni rupa yang beririsan dengan seni-seni yang lain, seperti teater, musik, film, arsitek, dan seni-seni lainnya. Artina berfokus pada konteks khasanah budaya Nusantara.

Direktur Artistik artina - Sarinah, Heri Pemad.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Direktur Artistik artina - Sarinah, Heri Pemad.

Hentikan proses kurasi

Kendala seperti yang dialami artina–Sarinah rupanya juga terjadi di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM). Setelah batalnya penyelenggaraan Bulan Film Nasional (BFN) 2023 yang mestinya berlangsung pada 25 Maret-2 April 2023, Jumat (14/4) kemarin Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memutuskan menghentikan sementara kurasi kegiatan seni budaya di PKJ TIM, khususnya untuk ruang-ruang seni di bawah pengelolaan PT Jakarta Propertindo (Jakpro).

Alasan penghentian kurasi tersebut karena ruang-ruang seni yang dikelola oleh Jakpro ditawarkan kepada calon pengguna dengan skema sewa, atau bagi hasil (profit sharing), atau meminta surat rekomendasi dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Adapun tarif penggunaan ruang-ruang seni di PKJ TIM yang diterapkan oleh Jakpro saat ini adalah tarif pengelola/keekonomian. Padahal, hingga saat ini Peraturan Gubernur tentang subsidi oleh Pemprov DKI Jakarta untuk pengelolaan PKJ TIM juga belum ditetapkan.

Baca juga: Pembatalan Acara Bulan Film Nasional di TIM Disayangkan

”Tiga skema itu tidak bisa diterapkan. Bayar sewa tidak bisa karena itu (anggaran DKJ) sudah diajukan dari tahun sebelumnya. Di anggaran tidak ada untuk sewa ruangan karena itu (program DKJ, termasuk BFN 2023) adalah layanan publik,” kata Ketua Komite Film DKJ Ekky Imanjaya (Kompas, Sabtu 1 April 2023).

Pengunjung menikmati hiburan musik di taman atap gedung parkir kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) setelah pembukaan publik, Senin (26/9/2022). Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) kini resmi dibuka untuk publik umum. Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun. Setelah direvitalisasi,
KOMPAS/RIZA FATHONI

Pengunjung menikmati hiburan musik di taman atap gedung parkir kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) setelah pembukaan publik, Senin (26/9/2022). Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) kini resmi dibuka untuk publik umum. Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun. Setelah direvitalisasi,

Revitalisasi TIM menghabiskan anggaran sekitar Rp 1,4 Triliun, sedangkan pemugaran gedung Sarinah menelan biaya hingga Rp 700 Miliar. Sebagai infrastruktur milik Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat, tentu pembangunan keduanya dibangun menggunakan dana publik.

Di tulisan opininya, Hilmar menyampaikan, dalam pembangunan fasilitas publik dengan dana publik, perhitungan pengembalian investasi atau return on investment (ROI) berbeda dengan perhitungan usaha swasta. “Di samping pengembalian dari pemanfaatan infrastruktur, misalnya dari karcis jalan tol atau retribusi bandara, juga ada perhitungan mengenai dampak sosial dan budaya dari investasi yang dilakukan,” paparnya.

Karena itulah, penting untuk membuat pembedaan antara keuntungan (profit) dan manfaat (benefit). Menurut Hilmar, investasi yang mungkin lambat menghasilkan keuntungan finansial bisa jadi sangat cepat membawa manfaat sosial.

Baca juga: Merayakan Gerakan Lokalitas di Sarinah

Pemahaman ini bisa diterapkan dalam “memotret” persoalan di TIM dan artina–Sarinah. Tentu selain kesiapan infrastruktur kebudayaan, peningkatan profesionalisme pengelolaan kegiatan-kegiatan seni budaya juga diperlukan. Jika persoalan-persoalan ini benar-benar ditangani bersama, semestinya “musim pagebluk” panggung seni segera berlalu.