Mengaktualkan Identitas melalui Film Before, Now, and Then (Nana)
Film Before, Now, and Then (Nana) yang menyabet berbagai penghargaan ternyata bisa membuat kita merefleksi identitas sebagai bangsa Indonesia.

/data/photo/2022/12/18/639e797d162c7.jpg)
Oleh: Nia Kurnia*
SEBAGAI orang Sunda, tentu saja saya merasa bangga ketika film berbahasa Sunda sebagai bahasa ibu atau bahasa daerah mendapat penghargaan di kancah internasional.
Pamor bahasa daerah tentu saja tidak boleh dipandang sebelah mata karena bahasa daerah yang juga bahasa ibu menjadi satu kekayaan Indonesia yang membedakan Indonesia dengan negara lain sebagai wujud identitas.
Baca juga: Ramai Film KKN Desa Penari, Kenapa Banyak Orang Suka Nonton Horor?
Film Before, Now, and Then (Nana) merupakan film yang sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda yang disutradarai oleh Kamila Andini.
Film ini berlatar di Jawa Barat sekitar tahun 1960-an yang diadaptasi dari novel autobiografi Jais Darga Namauku karya Ahda Imran yang diterbitkan oleh penerbit KPG pada tahun 2018.
Film ini diproduksi oleh Fourcolours Film dan Titimangsa Foundation, dan tayang di Prime Video pada 1 Agustus 2022. Film ini berdurasi 103 menit, dan tayang di Berlin pada tanggal 12 Febuari 2022.
Film Before, Now, and Then (Nana) merupakan film yang sepenuhnya berbahasa Sunda dan lolos dalam Festival Film Internasional Berlin 2022. Film ini mendapat penghargaan Silver Bear untuk pemeran pendukung terbaik yang diraih oleh Laura Basuki, dan mendapat penghargaan film terbaik, dan sutradara terbaik di ajang Asia Pacific Screen Award 2022.
[embedded content]
Film ini pun mendapat penghargaan Rekor Muri Indonesia sebagai film pertama yang menggunakan bahasa Sunda.
Pada tanggal 22 November 2022, saat ajang FFI mengumumkan para pemenang piala citra, film Before, Now, and Then (Nana) kembali mendapat 5 penghargaan untuk kategori penyunting gambar terbaik, pengarah artistik terbaik, pengarah sinematografi terbaik, penata musik terbaik, dan film cerita panjang terbaik.
Film ini didukung oleh para pemeran yang sudah diakui kemampuannya dalam berakting di dunia film, seperti Happy Salma, Laura Basuki, Arswendy Beningswara Nasution, dan Ibnu Jamil.
Fakta di atas tentu sebuah pernyataan bahwa film bisa mengaktualkan kembali bahasa daerah yang saat ini ada dalam keadaan tidak stabil.
Baca juga: Senang Menonton Film Horor Bisa Sebabkan Gangguan Mental
Bahasa Sunda sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian anak keturunan keluarga yang notabene beribu bapak Sunda dan hidup di perkotaan, termasuk telah ditinggalkan oleh para generasi muda yang sebenarnya berpotensi besar sebagai sosok penerus keberlangsungan bahasa daerah.
Hadirnya film yang berani menggunakan bahasa daerah menjadi suatu upaya mengaktualkan kembali identitas kelokalan di era modern.