LHKPN Belum Bermanfaat Bagi KPK Untuk Ungkap Kejahatan Korupsi

BREAKINGNEWS.CO.ID- Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, MCW, KRPK, SAHDAR Medan, GAK Lintas Perguruan Tinggi, Banten Bersih, dan MaTA Aceh dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri akhir-akhir ini menyoroti kinerja…

LHKPN Belum Bermanfaat Bagi KPK Untuk Ungkap Kejahatan Korupsi

BREAKINGNEWS.CO.ID- Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, MCW, KRPK, SAHDAR Medan, GAK Lintas Perguruan Tinggi, Banten Bersih, dan MaTA Aceh dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri akhir-akhir ini menyoroti kinerja Pansel Calon Pimpinan (Capim) KPK. 

Sorotan yang menjadi tranding topik di media tersebut terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Diketahui, soal LHKPN ini terus mengemuka lantaran ada tafsir yang berbeda. Koalisi Masyarakat Sipil dan KPK mengkritisi Pansel lantaran tetap mengakomodir peserta Capim KPK dari unsur Penyelenggara Negara (PN) yang mengabaikan kewajibannya untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK. 

Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) 2001-2004, Petrus Selestinus pun angkat bicara terkait kisruh tersebut. Petrus menyoroti kinerja KPK terkait LHKPN tersebut. 

Menurut Petrus, keengganan sebagian PN menyerahkan LHKPN ke KPK, karena lembaga antirasuah tersebut tidak pernah melakukan pemeriksaan seperti klarifikasi dan verfikasi kebenaran isi LHKPN yang telah dilaporkan. 

"Sehingga oleh sebagian besar PN berpandangan untuk apa menyerahkan LHKPN kalau hanya dijadikan berkas yang disimpan di gudang KPK," ujar Petrus kepada wartawan di Restoran Ayam Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (27/8/2019). 

Menurut Petrus, tuntutan koalisi masyarakat sipil agar  peserta seleksi yang tidak menyerahkan LHKPN kepada KPK harus dipertimbangkan dalam penetapan peserta seleksi capim KPK untuk lolos tahap berikutnya sebetulnya salah alamat. 

Pasalnya kata Petrus, persoalan PN yang abai menyerahkan LHKPN menjadi domain pimpinan KPK dan atasan langsung dari PN yang bersangkutan sesuai dengan Peraturan KPK No. : 7 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN.

Petrus pun mempertanyakan manuver KPK yang baru merasa penting soal LHKPN pada saat ada PN yang menjadi peserta seleksi capim KPK tidak menyerahkan LHKPN. Sementara KPK sendiri tidak pernah merasa penting untuk memeriksa setiap LHKPN yang sudah diserahkan ke KPK. Padahal dengan memeriksa setiap LHKPN, KPK bisa mengungkap tindak pidana korupsi melalui penelusuran asal usul harta kekayaan dalam LHKPN. 

"Melalui penelusuran asal usul kekayaan dalam LHKPN, maka KPK sesungguhnya mengawali sebuah proses pembuktian terbalik karena setiap pejabat wajib menerangkan asal usul seluruh kekayaan miliknya, milik istrinya dan juga anaknya dibandingkan dengan gaji apakah sebanding dengan LHKPN atau tidak," tegasnya. 

Dikatakan Petrus, penyerahan LHKPN kepada KPK menjadi salah satu kewajiban PN, namun kewajiban penyerahan LHKPN itu berimplikasi melahirkan kewajiban bagi KPK untuk memeriksa dan mengumumkan LHKPN itu dalam Berita Negara, agar publik mengetahuinya. 

Petrus menilai sikap persisten KPK meminta LHKPN bagi setiap PN tidak kompatibel dengan sikap KPK terhadap LHKPN yang sudah diterimanya. Artinya selama ini KPK tidak pernah memeriksa kekayaan setiap PN yang sudah  diserahkan dalam LHKPN itu, sehingga fungsi LHKPN untuk mengungkap kejahatan KKN melalui penelusuran LHKPN nyaris tak terdengar bunyinya.

"Sesungguhnya sikap KPK mempersoalkan LHKPN peserta Pansel Capim KPK pada saat seleksi berlangsung ibarat "menepuk air di dulang terpecik muka sendiri" karena selama ini justru KPK-lah yang mengabaikan kewajibannya untuk memeriksa kebenaran LHKPN," tegasnya. 

"Pemeriksaan inilah yang paling ditakuti oleh para PN karena ada kemungkinan KPK bisa mengungkap dugaan korupsi melalui penelusuran kebenaran LHKPN itu. Artinya melalui metode penelusuran LHKPN, KPK bisa mengungkap kejahatan korupsi dan pencucian uang seorang PN," tambahnya. 

Sementara Mantan Ketua Sub Komisi Yudikatif KPKPN, Chairul Imam, menilai kinerja KPK hanya berkutat pada kegiatan represif seperti melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Padahal kata Chairul, umur KPK sudah 15 tahun tetapi praktik korupsi masih meraja lela. 

"Kita melihat sudah 15 tahun KPK ada, tapi kenyataan ko korupsi ini masih gila-gilaan. Nah kalau kita melihat KPK ini celakanya adalah pada gerakan represif terus menerus. Menangkapi orang, OTT segala macam. Itu kan represif terus," tegasnya. 

Padahal kata Chairul, KPK dibentuk lantaran Kejaksaan dan Kepolisian gagal dalam pemberantasan korupsi. Undang-Undang (UU) KPK pun lahir untuk memperbaiki kegagalan itu dengan memberikan kewenangan pencegahan terhadap lembaga pimpinan Agus Rahardjo itu. 

"KPK diberikan kewenangan yang tidak dimiliki oleh Jaksa dan Polisi yaitu kewenangan pencegahan. Polisi dan Jaksa engga punya kewenangan pencegahan kan. Tahunya penindakan aja gitu," katanya.  

Untuk itu Chairul meminta KPK mengubah strategi dalam memberantas korupsi. "KPK harus berubah strategilah dalam pemberantasan korupsi. Kalau korupsi yang tanganin KPK. Itu aja. Ke dua, soal pencegahan utamakan LHKPN dan penelitian sistem yang koruptif itu. Ketiga hidupkan lembaga monitoring dan supervise. Itu saja," tukasnya.