KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi (Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI) Sorotan miring terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi terus terjadi seiring dengan beberapa blunder konstitusi yang dilakukan lembaga anti rasuah ini.  Blunderkonstitusi itu diantaranya tampak pada sikap ngototKPK untuk tidak menanggapi panggilan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang dibentuk DPR RI dalam rangka pengawasan sebagai mana tugas…

KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi

(Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI)

Sorotan miring terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi terus terjadi seiring dengan beberapa blunder konstitusi yang dilakukan lembaga anti rasuah ini.  Blunderkonstitusi itu diantaranya tampak pada sikap ngototKPK untuk tidak menanggapi panggilan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang dibentuk DPR RI dalam rangka pengawasan sebagai mana tugas konstitusional yang dimiliki DPR.

Demi menghindari panggilan Pansus Hak Angket KPK, para komisioner KPK dengan piawai menggunakan argumentasi bahwa KPK masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pijakan hukum untuk menjawab panggilan Pansus Hak Angket.  Apapun alasannya, ketidakhadiran KPK dalam rapat-rapat dengan Pansus Hak Angket KPK sesungguhnya sudah merupakan pembangkangan terhadap konstitusi mengingat DPR merupakan lembaga tinggi negara yang mengemban kewenangan konstitusional.

Sikap KPK yang mengangkangi kewajiban konstitusional DPR melalui Pansus Angket KPK merupakan fenomena buruk dalam kehidupan bernegara, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan kekacauan konstitusi (constutional chaos), yang pada akhirnya bisa memicu terjadinya negara gagal (failed state). Kekacauan praktek konstitusi sebagaimana yang dipertontonkan KPK merupakan cara paling telanjang untuk mengebiri bahkan meremukkan kewibawaan konsitusi. Aneh bin ajaib, sebuah lembaga yang bersifat sementara (ad-hoc)seperti KPK, justru bisa seenaknya melakukan pembangkangan terhadap konstitusi negara.

Jika dicermati, belakangan ini KPK cenderung tidak lagi memainkan peran dan fungsinya sebagai lembaga hukum. Sebaliknya, tingkah-polah KPK justru lebih mirip manuver-manuver politik yang memicu terjadinya instabilitas politik. Situasi instabilitas politik ini dapat dibandingkan dengan situasi krisis politik di rentang waktu 1955 sampai 1959, saat dimana persaingan bahkan gesekan dan benturan ideologis antar partai-partai kental mewarnai jalannya kekuasaan pemerintahan.

Situasi buruk praktek kehidupan bernegara pada rentang waktu 1955-1959 itu, sampai-sampai membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai langkah ekstra-konstitusional untuk memberlakukan UUD 1945. Berbeda tetapi mirip-mirip, situasi instabilitas politik di negeri kita dewasa ini justru dipicu oleh blunder konstitusi yang dilakukan KPK. Sesungguhnya "idelogi" apa yang sedang dimainkan oleh KPK sehingga muncul kegaduhan sampai memicu krisis kehidupan bernegara?

Modus Basi OTT

Seiring sorotan negatif yang semakin sering diarahkan berbagai elemen terhadap KPK belakangan ini, maka semakin intensif pula KPK memainkan manuver dan jurus-jurus kamuflase sangat mungkin dengan target untuk menunai simpati publik. Manuver itu biasanya berwujud modus Operasi Tangkap Tangan (OTT). Modus OTT ini sebenarnya patut dicurigai, karena KPK tidak pernah membuka secara terbuka  kepada publik bagaimana awal-mula proses OTT berlangsung.

Patut diduga, OTT yang berujung pada penangkapan sejumlah kepala daerah di Indonesia, bersumber dari bocoran informasi di seputar tersangka OTT. Kalau demikian, bukankah pemberi bocoran informasi itu juga merupakan bagian dari sindikat korupsi? Pembocor informasi ini bisa saja adalah orang-orang yang kecewa lantaran memperoleh "jatah dana korupsi" yang sangat jauh dari ekspektasinya. Lalu tindakan hukum apakah yang dikenakan kepada para pembocor informasi itu? Apakah yang bersangkutan juga menjadi pihak yang ditersangkakan, atau dibiarkan lepas begitu saja oleh KPK?

Sumirnya penjelasan KPK mengenai pembocor informasi OTT, pada akhirnya mengundang anggapan bahwa OTT hanyalah modus basi untuk mengelabui sikap kritis para pihak kepada KPK. Peristiwa OTT yang disiarkan secara mencolok oleh media massa (blow-up) membuat publik seolah-olah terhipnotis dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini. Padahal, sangat mungkin OTT tidak lain merupakan modus basi yang digunakan KPK untuk menghabisi karakter seseorang, atau mengakhiri dengan cara vulgar karir politik seseorang yang mungkin tidak lagi disukai oleh vested group yang bermain di belakang KPK.

Modus basi OTT ini patut diduga tetap akan digunakan dan sangat mungkin semakin intensif dilakukan saat memasuki tahun politik menuju 2019. Guna menjatuhkan lawan politik yang tidak lagi disukai oleh vested group, maka seorang tokoh dapat saja di-OTT-kan! Kalau itu terjadi maka terbuka kemungkinan figur-figur yang akan tampil dalam kontestasi Pileg dan Pilpres tahun 2019, bisa mati kutu. Bukan tidak mungkin, pada  Pilpres 2019 mendatang, KPK pun akan dimobilisasi oleh vested group untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh bangsa yang berpotensi maju sebagai Capres.

Perihal manfaat dari sebuah OTT, apa yang bisa dijelaskan oleh KPK kepada publik? Pertanyaan sederhananya, apakah ada korelasi positif antara OTT dan uang negara yang diselamatkan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat? Kalau tidak ada korelasinya, lalu masih perlukan KPK dipertahankan? Situasi ini ibaratnya bahwa KPK sedang tersesat di jalan yang lurus.

Degradari Lembaga Negara

Bila dirunut ke belakang, modus basi OTT yang dilancarkan oleh KPK memberi resiko yang fatal terhadap keberadan lembaga-lembaga negara. Beberapa lembaga negara telah mengalami dampak buruk akibat manuver KPK, diantaranya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Terkini adalah manuver KPK terhadap lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); kendati status tersangka pada Setya Novanto telah gugur menyusul kemenangan Setya Novanto di Sidang Pra-Peradilan, KPK masih saja ngototdan tampak panik untuk menjadikan Ketua DPR RI sebagai tersangka korupsi.

Sesuai konsekuensi hukum, maka jika status tersangka gugur, maka status pencekalan pun harus berakhir. Anehnya, KPK justru memperpanjang status pencekalan Setya Novanto. Begitu hebatkah KPK sehingga seenaknya mengangkangi logika hukum positif? Terkini, KPK melayangkan lagi panggilan kepada Setya Novanto untuk diperiksa terkait kasus e-KTP. Padahal, mengacu pada ketentuan UU MD3 dan keputusan Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan Ketua DPR RI mesti dilandasi oleh persetujuan Presiden sebagai Kepala Negara. Tetapi, mengapa KPK bersikap sesuka hatinya? Apa sesungguhnya motif ideologis dari KPK yang tampak getol meruntuhkan wibawa lembaga-lembaga negara?

Untuk itulah, patut diduga bahwa KPK sedang bermanuver untuk memecah-belah atau bahkan menghancurkan bangsa Indonesia melalui isu korupsi. Apakah KPK sedang bermain dalam arus "penjajahan bentuk baru" oleh kekuatan imperialis-kapitalis dunia? Perihal penjajahan bentuk baru ini,  jauh-jauh hari mendiang Bung Karno telah memberikan warning kepada bangsa Indonesia bahwa salah satu fase kehidupan berbangsa yang paling berat adalah saat menghadapi kekuatan "neo-kolonialisme" dan "neo-imperialisme", yang bermetamorfosis untuk menjajah bangsa Indonesia dari aspek ekonomi dan budaya.

Satu hal lagi yang paling mencolok dan tidak elok pada KPK adalah penggunaan APBN dalam rangka kampanye anti-korupsi. Konon, ada puluhan miliar rupiah yang diberikan KPK kepada LSM-LSM untuk pembinaan anti korupsi. Anehnya, dana itu konon tidak boleh diaudit penggunaannya oleh auditor publik. Apa sebenarnya KPK ini? Komisi anti-rasuah ini paling getol memeriksa lembaga-lembaga lain yang menyalahgunakan APBN. Tetapi, dana APBN yang digunakan KPK tidak boleh diaudit. Kalau penggunaan APBN tanpa audit tidak disebut korupsi, lalu istilah apa yang paling tepat untuk menamakan hal tersebut?

Perlu Intervensi Kepala Negara

Bahwa sesungguhnya keputusan Sidang Pra-Peradilan itu bersifat final and binding,begitu pula keputusan Pra Peradilan yang memenangkan Setya Novanto dalam kasus e-KTP. Semestinya status pencekalan yang disematkan kepada Novanto pun harus gugur demi hukum oleh karena kemenangan Pra-Peradilan. Tindakan KPK semacam ini jelas-jelas telah melenceng jauh dari koridor hukum positif yang berlaku di negeri ini.  Manuver KPK dalam kasus e-KTP terasa lebih kental nuansa politiknya ketimbang substansi hukumnya.

Sikap KPK yang tendensius dan cenderung kalap untuk mengejar Setya Novanto, patut diduga merupakan upaya menutupi rasa malu akibat kalah di Sidang Pra-Peradilan. Pasalnya, sebelum keputusan Sidang Pra-Peradilan dikeluarkan, KPK telah bermanuver dengan membonceng opini media-media partisan bahwa pihaknya akan menang dalam Sidang Pra-Peradilan. Kenyataannya malah sebaliknya,  KPK justru kalah oleh putusan hakim Chepi Iskandar.

Mengingat manuver dan intrik politik KPK berpotensi mengancam stabilitas penyelenggaraan negara, lantaran mengganggu fungsi-fungsi kelembagaan DPR RI, maka sudah semestinya Presiden Jokowi selaku Kepala Negara mengambil sikap proaktif dan tidak lagi berdiam diri membiarkan kondisi kontraproduktif ini terus terjadi. Presiden Jokowi jangan lagi merasa sungkan seolah-olah hendak mengintervensi domain yudikatif. Sebaliknya, Presiden Jokowi mesti bertindak cepat dan tidak sungkan lagi untuk mengintervensi, agar dapat mengatasi situasi kontraproduktif yang mengancam stabilitas penyelenggaraan negara.

Mengapa perlu ada intervensi dari Presiden Jokowi selaku Kepala Negara? Sejatinya, seorang Presiden memiliki kewenangan ekstra-kontitusional untuk mengatasi situasi negara apabila negara sedang berada dalam ikhwal kegentingan yang memaksa. Halmana misalnya pada kewenangan Presiden mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dalam hal instabilitas penyelenggaraan negara akibat dari berbagai intrik dan manuver KPK, maka Presiden Jokowi selaku Kepala Negara harus sudah bertindak tegas,demi mencegah terjadinya krisis konstitusi yang bisa berujung pada negara gagal.

Merujuk pada sejarah ketatanegaraan, Presiden Soekarno pernah menempuh langkah ekstra-konstitusional saat mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk mengatasi situasi kegentingan yang memaksa akibat pergesekan ideologis diantara elemen-elemen pendukung demokrasi parlementer kala itu. Kini saatnya Presiden Jokowi diharapkan dapat bertindak tegas seperti mendiang Presiden Soekarno dalam menyelamatkan situasi negara. Apabila Presiden Jokowi mampu menunjukkan ketegasan seperti Presiden Soekarno, maka kewibawaannya sebagai seorang Presiden dan Kepala Negara akan semakin kokoh di mata rakyat.

Ada hal lain yang patut dikhawatirkan yakni terjadinya gesekan disintegrasi nasional akibat manuver dan intrik politik KPK. Kalau mau diperbandingkan, di masa lalu isu komunisme membuat bangsa kita terpecah-belah. Kini, isu korupsilah yang justru mengancam persatuan nasional kita. Manuver KPK yang membonceng isu korupsi amat berpotensi memecah-belah bangsa. Lalu apa kontribusi KPK terhadap sejarah terbentuknya negara-bangsa (nation-state)Indonesia, sehingga dengan mudahnya KPK merusak pranata kehidupan bernegara kita?

Sudah selayaknya publik bersikap rasional bahwa tidak boleh lembaga ad-hoc seperti KPK yang dapat berfungsi terus-menerus, seolah-olah merupakan lembaga permanen. Hal itu dapat menimbulkan adanya praktek negara dalam negara yang dapat berujung pada negara gagal.Konsekuensinya, sebuah lembaga ad-hoc harus memiliki batas waktu untuk keberadaannya. Mengingat KPK merupakan lembaga ad-hoc, maka kini saatnya fungsi dan keberadaan KPK segera diakhiri, seiring dengan telah terjadinya penataan dan reformasi di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.

Mengacu pada berbagai distorsi penyelenggaraan negara akibat ulah dan manuver KPK, maka kini saatnya KPK harus dipertimbangkan ulang keberadaannya. Kita tidak boleh sekali-kali mempertaruhkan tatanan bernegara dan berbangsa hanya untuk mempertahankan lembaga ad-hoc seperti KPK. Sejenis "makhluk" apakah KPK ini sehingga diperlakukan begitu istimewa?