KPK Panik Saat Jenderal Polisi Jadi Capim, Neta: Ada Apa Ini?

BREAKINGNEWS.CO.ID – Sejumlah perwira tinggi Polri kini menjadi calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka telah lolos  tes profile assesment, pada 8-9 Agustus 2019 di Jakarta. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, juga menyambut positif hasil tersebut.

KPK Panik Saat Jenderal Polisi Jadi Capim, Neta: Ada Apa Ini?

BREAKINGNEWS.CO.ID – Sejumlah perwira tinggi Polri kini menjadi calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka telah lolos  tes profile assesment, pada 8-9 Agustus 2019 di Jakarta. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, juga menyambut positif hasil tersebut.

Mantan wartawan ini menilai sejumlah pihak, khususnya di internal KPK, tak perlu panik dengan masuknya Jenderal-jenderal polisi sebagai kandidat capim KPK. Ia berpendapat masuknya jenderal polisi menjadi pimpinan KPK sebenarnya bukan hal baru. Neta pun merujuk pada era Irjen Pol Taufikurahman Ruki dan Irjen Pol Bibit Samad Rijanto menjadi pimpinan lembaga antirasuah itu.

Namun saat ini Neta menyatakan jika dirinya melihat ada kepanikan sejumlah pihak dengan akan masuknya dua jenderal polisi menjadi pimpinan KPK. Hal itu terlihat dari pernyataan internal KPK yang mempermasalahkan bahwa enam capim KPK yang belum menyerahkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara).

"Pernyataan ini sangat aneh, mereka baru capim dan belum menjadi pimpinan KPK. Jika sudah menjadi pimpinan KPK bolehlah dipermasalahkan. Jika pun sudah menjadi pimpinan KPK, mereka tidak menyerahkan LHKPN sebenarnya tidak ada masalah juga karena tidak ada sanksi hukumnya,” ujat Neta.

Ia pun menyatakan kententuan LHKPN itu tidak jelas keperluannya untuk apa. “Tapi anehnya ada pihak yang mempolitisasinya dan menjadikan LHKPN seperti hantu yang menakutkan," ujar Neta, dalam keterangan kepada media, Jumat (23/8/2019).

Audit BPK

Neta menilai seharusnya pihak-pihak yang mempermasalahkan LHKPN itu menggugat KPK. Pasalnya status audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk KPK itu WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Neta pun mempertanyakan mengapa pihak KPK menolak memberikan sejumlah dokumen yang dibutuhkan BPK untuk mengaudit keuangan lembaga antirasuah itu. Misalnya dokumen atau data data barang-barang sitaan tersangka korupsi, baik yang sudah dilelang maupun belum.

Menurut Neta dalam ayat 1 Pasal 24 UU No 54 Tahun 2004 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana 1 tahun 6 bulan penjara atau denda Rp 500 juta.

"Dalam hal ini KPK harus berkaca bahwa dirinya saja tidak tertib administrasi hingga mendapat cap WDP dari BPK. Bagaimana bisa dipercaya, jika lembaga pemberantas korupsi tidak bisa mencapai WTP dalam status audit keuangannya. Lalu kenapa pula KPK masih punya moral mempersoalkan adanya enam capim KPK dari polisi yang belum menyerahkan LHKPN? Pansel KPK saja tidak mempersoalkannya. Dari sini terlihat bahwa ada internal KPK yang panik kwadrat tentang akan masuknya dua jenderal polisi menjadi pimpinan KPK," ucapnya.

Neta juga berpendapat bahwa era KPK pertama bisa disebut sukses karena dipimpin Irjen Pol Taufikurahman Ruki. Saat menjabat, yang bersangkutan tak sungkan meringkus kolega sesama polisi yang korupsi.

Begitu juga dengan Irjen Pol Bibit Samad Rianto. Bahkan, ia menuturkan hingga kini Bibit terus aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi meski sudah tidak di KPK. Bibit juga mendirikan Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK).

"Lalu kenapa ada internal KPK yang alergi dengan akan masuknya dua jenderal polisi menjadi pimpinan KPK. Apakah mereka takut boroknya akan dibongkar kedua jenderal polisi yang akan menjadi pimpinan KPK tersebut?" tandas Neta.