Hari Nelayan Indonesia, WALHI NTT Minta Pemerintah Tinjau Ulang Perda RZWP3K

BREAKINGNEWS.CO.ID - Menyikapi Hari Nelayan Nasional 2019, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta pemerintah untuk meninjau kembali Perda Rencanan Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Hari Nelayan Indonesia, WALHI NTT Minta Pemerintah Tinjau Ulang Perda RZWP3K

BREAKINGNEWS.CO.ID - Menyikapi Hari Nelayan Nasional 2019, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta pemerintah untuk meninjau kembali Perda Rencanan Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Pasalnya, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ruang laut dengan sumberdaya kelautan yang berlimpah di dalamnya. Dengan garis pantai kurang lebih sepanjang 95.181 kilometer. Jumlah pulau sebanyak 17.480 dan posisi geografis di antara dua samudera sudah pasti Indonesia memiliki posisi penting di antara negara-negara di dunia.

Belum lagi kekayaan hayati laut tropis terkaya di dunia dan kekayaan non hayati dalam berbagai bentuk sudah seharusnya bangsa Indonesia menjaga warisan tersebut dengan penuh integritas.

Sayangnya, dalam banyak hal sektor kelautan belumlah menjadi mainstream dalam pembangunan. Kekayaan laut yang dimiliki berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

"Untuk itu, Hari Nelayan Indonesia menjadi pengingat untuk kita bersyukur sekaligus mendorong untuk memajukan kesejahteraan nelayan dan perlindungan terhadap nelayan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT," kata Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang dalam keterangannya seperti diterima breakingnews.co.id, Sabtu (6/4/2019).

Menurutnya, dengan garis pantai kurang lebih 5.700 KM dan luas wilayah laut 200.000 kilometer persegi, secara umum provinsi NTT memiliki potensi perikanan besar. Disamping itu, potensi-potensi lainnya yang mendukung sektor perikanan di sektor perikanan di NTT yakni hutan mangrove seluas 51.854.83 Ha (11 spesies), terumbu karang sebanyak 160 jenis dari 17 famili.

"Pada tahun 2012 jumlah usaha perikanan laut sebanyak 42.685 rumah tangga, jumlah desa pantai 808 desa. Dengan jumlah penduduk desa pantai 1.105,438 jiwa dengan jumlah nelayan 194.684 orang (9,9 persen dari jumlah penduduk desa pantai). Hingga saat ini populasi nelayan sekitar 5 persen dari jumlah penduduk yang ada di NTT," ungkapnya.

Sementara itu, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah menjabarkan tahapan-tahapan penyusunan RZWP3K mulai dari penugasan dinas yang membidangi Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi oleh Gubernur.

Dalam undang-undang (UU) RZWP3K, terdapat rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan. Selain itu, UU tersebut juga disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pada pasal 7 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2007, ditegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun semua dokumen perencanaan pengelolaan WP3K termasuk RZWP3K, dan sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai management authority menyusun sebuah Pedoman Teknis yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunannya. Namun pada faktanya dalam implementasi kebijakan tersebut sering tidak tepat sasaran.

Di NTT sendiri, lanjut Umbu, dalam penerapannya, RZWP3K di NTT seolah-olah mengarah pada pariwisata. Dalam Perda Nomor 04 Tahun 2007 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

"Dimana perda tersebut menutup ruang kedaulatan nelayan, sebab peta pariwisata dan konservasi menutup ruang atau ruang aktivitas nelayan, sehingga nelayan harus menghabiskan biaya dan energi untuk mencari lokasi penagkapan baru yang jauh. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya kasus-kasus nelayan NTT ditangkap diperairan negara lain. Ini menjadi salah satu persoalan nelayan di NTT," ucap Umbu.

Sementara itu, Umbu juga menilai bahwa masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut. Hal itu ditinjau dari aspek penyebarannya dalam tata ruang nasional.

"Hal ini merupakan akibat dari konsep maupun tahapan perencanaan yang tidak melalui kajian secara tepat dan kurangnya pelibatan banyak pihak. Sehingga tidak jarang dijumpai dalam suatu kawasan terdapat lebih dari satu kegiatan pembangunan atau pemanfaatan yang saling bentrok," ujarnya.

"Misalnya pembangunan pelabuhan, tempat wisata, resort, dan hotel yang berdampingan dengan kegiatan konservasi ataupun budidaya perikanan.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 11 Rencana Alokasi Ruang WP3K tidak secara implisit memuat ruang khusus nelayan tradisional, secara khusus pada pasal 11 ayat 8 mengenai peta yang tidak dapat pisah dari perda berindikasi pada raung konservasi, pariwisata, dan kawasan startegis. Ruang lingkup perda itu lebih menguntungkan atau membuka ruang bagi investasi modal ketimbang ruang publik atau wilayah keola rakyat. Setiap pasalnya juga minim mengatur soal perlindungan nelayan," imbuhnya.

"Persoalan lain yang terjadi pada nelayan NTT adalah hilangnya ruang atau akses masyarakat nelayan untuk mencari ikan. Hal ini seiring dengan masifnya industri pariwisata yang kemudian adanya praktek-raktek privatisasi pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di NTT. Disamping itu persoalan penghancuran terumbu karang menggunakan bom ikan, pencurian ikan, dan masalah sampah di NTT menambah deretan panjang tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT," pungkas Umbu.