Di Balik Langkah Kontroversi Ali Sadikin Legalkan Judi di Jakarta

Saat itu di Jakarta banyak perjudian yang dilaksanakan secara liar. Ditambah faktor historis beberapa kalangan masyarakat yang menganggap judi sebagai bagian dari way of life.,sejarah,Tokoh Sejarah,Cerita Sejarah,Sejarah Indonesia,Be Smart,Ali Sadikin,Viral Hari Ini,Perjudian,Highlight,Jakarta

Di Balik Langkah Kontroversi Ali Sadikin Legalkan Judi di Jakarta

Merdeka.com - Masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, Jakarta memanfaatkan perjudian sebagai sumber pendapatan daerah. Bang Ali mengambil 'kebijakan kontroversial' itu sebagai solusi menutupi kekurangan dana dari APBD yang diwariskan gubernur sebelumnya.

Lantaran, APBD hanya berkisar Rp66 Juta. Tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta yang kian bertambah.

taboola mid article

Dalam Bang Ali: Demi Jakarta (1966–1977) diceritakan, Ali Sadikin yang baru menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966 dihadapkan pada kondisi pembangunan kota yang masih sangat memprihatinkan. Terlihat dari kondisi jalanan yang sempit dan rusak. Bahkan panjang jalannya kurang lebih 800 kilometer. Padahal, jumlah kendaraan di Jakarta pada masa itu mencapai 160.000 buah.

Tidak mengherankan, Jakarta pada masa itu sudah dilanda kemacetan. Belum lagi ditambah kondisi angkutan umum yang tidak terorganisir dengan rapi. Tidak berhenti di situ, Bang Ali juga menyoroti laju pertumbuhan penduduk yang tiap tahunnya terus meningkat pesat. Laju pertumbuhan penduduk tersebut jelas tidak sebanding dengan fasilitas yang ada di Jakarta.

Banyaknya program pembangunan yang harus dilakukan juga menjadi permasalahan bagi Ali Sadikin. Pasalnya, APBD Jakarta saat itu hanya berkisar Rp66 Juta dan ketika dinaikkan menjadi Rp266 juta tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan yang ada.

Bang Ali membuat beberapa kebijakan untuk menambah pendapatan DKI Jakarta. Salah satunya yang paling kontroversial adalah legalisasi perjudian.

Dalam Catatan Ali Sadikin Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966–1977, Ali Sadikin melihat maraknya kegiatan perjudian sebagai peluang menambah pundi-pundi kantong anggaran. Ali Sadikin tidak segan untuk memanfaatkan perjudian sebagai sumber pendapatan DKI Jakarta.

Dia mempertimbangkan matang-matang. Saat itu di Jakarta banyak perjudian yang dilaksanakan secara liar. Ditambah faktor historis beberapa kalangan masyarakat yang menganggap judi sebagai bagian dari way of life.

2 dari 4 halaman

Ali Sadikin: Judi Bisa Dikontrol

Ali Sadikin lantas berdiskusi dengan Djoemadjitin yang merupakan Ahli hukum sekaligus Sekretaris Daerah DKI Jakarta. Dalam diskusinya, Pak Sumarno (bekas Gubernur DKI Jakarta) juga memiliki keinginan melokalisasi perjudian atau lotto. Tetapi ragu untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.

Djoemadjitin mengungkapkan, sejak masa kolonial terdapat peraturan atau instrumen hukum yang mengatur tentang masalah perjudian. Beberapa diantaranya:

1) Staatsblad tahun 1913 No. 230
2) Statsblad tahun 1935 No. 526
3) UU Darurat No. 11 Tahun 1957 yang membahas Penertiban Perjudian, yakni memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk memungut pajak perjudian. Bahkan, Volksraad (Dewan Rakyat) menyetujui pemungutan dana dari perjudian.

Dengan pertimbangan terhadap peraturan-peraturan yang ada, Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan tahun 1967 yang berisi tentang legalisasi perjudian dan larangan untuk melakukan perjudian secara liar. Setelah itu, Bang Ali segera meresmikan kasino pertama di Petak Sembilan No.52.

"djudi bukanlah sumber yang inkonvensionil. Orang lain yang mengatakan demikian. Bagi saja djudi itu sumber yang konvensionil seperti sumber-sumber lainja. Sumber ini dikeluarkan berdasarkan hukum jang ada. Saya berpendapat djudi tidak dapat diberantas. Saja tutup casino dan Petak Sembilan, di tempat lain djudi jalan terus. Saya akan mempertahankan djudi karena dengan demikian djudi bisa saja kontrol” dilansir dari Harian Tempo, 19 Juni 1971.

3 dari 4 halaman

Tak Minta Persetujuan Soeharto

Dalam buku Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi, Ali Sadikin mengeluarkan kebijakan legalisasi tanpa persetujuan pihak mana pun. Mengingat keputusan tersebut adalah keputusan yang kontroversial. Ali tidak meminta persetujuan DPRD atau pun Menteri Sosial dengan tujuan agar kebijakan tersebut menjadi tanggung jawab pribadinya.

Bahkan, Ali Sadikin tidak meminta persetujuan Presiden Soeharto. Dia hanya menyampaikan usulan kebijakannya kepada presiden dengan memaparkan beberapa pertimbangan bahwa Walikota Sudiro dulu pernah ingin mengadakan casino di Pulau Edam. Tetapi ditolak partai-partai agama.

Begitu pun dengan Gubernur DKI sebelumnya, yakni Soemarno yang ingin mengadakan sebuah casino di Jakarta untuk pembangunan, tetapi belum berhasil. Maka, inilah saatnya Ali Sadikin mewujudkannya.

Legalisasi judi tersebut pun dilakukan. Mulai dari Lotere Totalisator hingga hwa-hwee bagi orang Cina. Ali Sadikin juga menegaskan, jika ada umat Islam yang berjudi, maka bukan tanggung jawab gubernur. Melainkan derajat keimanan orang tersebut.

Menurut Ali sadikin, daripada judi dibiarkan secara liar, lebih baik dilegalkan dan membawa manfaat untuk pembangunan kota Jakarta. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah menetapkan tindakan-tindakan represif dan preventif. Salah satunya membentuk tim pengawas yang mengawasi aspek politik dan retribusi (Keputusan Gubernur DKI Jakarta tanggal 21 September 1967 No. 805/A /k/BKD/ 1967 tentang Tim Pengamanan dan Pengawasan penyelenggaraan perjudian).

Tim dibentuk dengan tugas mengadakan pencegahan terhadap penyalahgunaan kebijaksanaan lokalisasi perjudian; melindungi masyarakat dari akibat-akibat negatif dengan mengadakan seleksi pengunjung; mencegah tempat-tempat untuk perbuatan asusila dan tindakan lain yang merugikan harga atau jiwa seseorang. Tim juga mengawasi seluk-beluk pengorganisasian permainan tersebut dan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur. Pengawasan dilakukan dalam bidang retribusi dan pajak terutama dalam kelancaran pemasukan dan penggunaan.

Selain itu, pengawasan juga dilakukan pada bidang keamanan dan polisionil dengan tujuan untuk mengamankan ketertiban fisik dan pengamanan tempat permainan. Kebijakan pengamanan juga berpatokan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan dan Menteri Sosial.

Dalam instruksi tersebut dijelaskan bahwa tempat penyelenggaraan judi tidak boleh berdekatan dengan daerah tempat tinggal/perumahan; rumah-rumah ibadah, sekolah-sekolah atau tempat pendidikan; obyek-obyek kebudayaan; tempat harus tertutup dan tidak mudah didatangi masyarakat berpenghasilan kecil.

Berdasarkan Keputusan Gubernur, izin penyelenggaraan judi di Jakarta ditetapkan sebagai berikut: Casino Petak IX; Casino Jakarta Theatre; Casino Copacabana; Stand Ketangkasan di Jakarta Fair/Arena Promosi dan Hiburan Jakarta; Lotto Fair Proyek Senen dan Krekot; Lotto Pacuan Kuda Pulomas; Lotto Hailai, Ancol; Lotto Greyhound, Senayan.

4 dari 4 halaman

Jalanan Hasil Judi

Bisa ditebak, kebijakan Ali Sadikin mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan itu terbukti berhasil mendongkrak pendapatan pemda dari Rp66 juta per tahun menjadi Rp122 miliar per tahun pada 1977. Hal positif bagi kota Jakarta. Dana itu digunakan untuk membangun banyak proyek.

Di sisi lain, Ali sering dicap sebagai 'Gubernur Maksiat' terutama oleh para ulama. Ada yang menyebut 'Gubernur Judi'. Bahkan, istri Gubernur Ali Sadikin ikut terkena dampaknya. Akan tetapi, Bang Ali tetap teguh melaksanakan kebijakan tersebut untuk kepentingan pembangunan. Bahkan dengan santai dia menyampaikan bahwa jika tidak mau menerima kebijakan tersebut, maka masyarakat yang protes tidak bisa keluar rumah. Karena jalan yang dibuatnya adalah hasil dari pemanfaatan judi tersebut.

Pada tahun 1973, persoalan judi merebak di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kopkamtib melakukan pelarangan terhadap judi di wilayah tersebut. Hal ini mengundang tanda tanya media kepada Bang Ali. Kendati demikian, dia tetap menanggapi hal tersebut dengan menjawab bahwa "Kebijakan perjudian tersebut merupakan hal yang legal dan diatur dalam Undang-Undang."

Terdapat beberapa pihak yang menyarankan menggunakan zakat fitrah untuk pembangunan, tetapi berdasarkan angka zakat hanya mampu menghasilkan 15 juta rupiah pada tahun 1972 dan hanya mampu mencapai angka Rp75 juta setelah diusahakan. Menurutnya, untuk melakukan suatu pembangunan tidak cukup hanya dengan gambar-gambar saja, tetapi memerlukan uang.

Reporter Magang: Muhammad Rigan Agus Setiawan

(mdk/noe)

TOPIK TERKAIT

taboola below article