Butuh Sikap Proaktif Pemda untuk Pelestarian Rumah Adat

BREAKINGNEWS.CO.ID –  Banyak pihak yang khawatir dengan kian punahnya rumah adat di berbagai daerah tanah air. Berbagai penyebab bisa dijadikan alasan atas kondisi  yang terjadi, mulai dari masalah budaya, ekonomi hingga politik. Namun berbagai upaya pelestarian juga telah dilakukan oleh sejumlah kelompok dan individu dalam upaya pelestarian warisan nenek moyang yang kaya pelajaran tersebut.

Butuh Sikap Proaktif Pemda untuk Pelestarian Rumah Adat

BREAKINGNEWS.CO.ID –  Banyak pihak yang khawatir dengan kian punahnya rumah adat di berbagai daerah tanah air. Berbagai penyebab bisa dijadikan alasan atas kondisi  yang terjadi, mulai dari masalah budaya, ekonomi hingga politik. Namun berbagai upaya pelestarian juga telah dilakukan oleh sejumlah kelompok dan individu dalam upaya pelestarian warisan nenek moyang yang kaya pelajaran tersebut.

Termasuk juga pemerintah, karena secara aturan, telah ada Undang-Undang yang mewajibkan pelestarian objek rumaha adat yang dimasukkan dalam kelompok cagar budaya.  Benang merah yang terpenting dari semua itu adalah sikap proaktif pemerintah daerah dalam upaya pelestarian nilai dan budaya yang terkandung dari warisan yang telah ditinggalkan oleh para nenek moyang kita.

“Penataan dan pemeliharan rumah adat yang masuk dalam kategori cagar budaya sudah ada dalam  UU dan Peraturan Menteri,”  ujar Dr. Dadang Rukmana, S.H., CES., DEA. Sekretaris Ditjen Penyediaan Perumahan, Kementerian PUP  dalam diskusi Webinar “Rumah Gadang Realitas & Romantisme atau Punah” yang berlangsung Minggu (21/6/2020).

Namun UU nomor 11 tahun 2010 tersebut belum mampu  sepenuhnya menjalankan seluruh  amanat yang diberikan, karena ada prioritas lain yang harus diselesaikan juga tak kalah banyaknya, seperti penyediaan rumah bagi masyarakat umum, dan ini belum mencakup rumah-rumah adat.

Dadang menjelaskan, Peraturan Menteri PUPR nomor 20 tahu  2017 baru sampai pada tahap pemberian bantuan untuk pembangunan rumah standar, belum sampai pada rumah adat yang memerlukan penanganan secara khusus, seperti cagar budaya tadi.  “Untuk itu perlu ada peraturan tambahan dari pemerintah daerah, berupa Perda (Peraturan Daerah) yang mensyaratkan perlunya dukungan pemerintah pusat terhadap pembangunan dan pelestarian rumah adat itu” tandas Dadang dalam acara yang diikuti oleh ratusan pegiat rumah adat tanah air, aktifis pelestari cagar budaya, serta, praktisi pembangunan rumah adat minang tersebut.

image

Maka,  pendekatan bersifat kolaboratif, yang memadukan seluruh potensi yang ada di masyakat, baik secara perorangan maupun kelompok menjadi hal terpenting. Kesediaan Pemda untuk terjun langsung dalam masalah ini memegang  peran kunci dalam upaya pelestarian tersebut. Ini tak lain karena pola kerja dan aturan terkait aturan cagar budaya ini, bersifat bottom up, alias dari masyarakat atau pemerintah daerah.

Terlepas dari belum adanya sebagian Pemerintah Daearah yang tergerak langsung dalam upaya pelestarian rumah adat sebagai cagar budaya itu, sejumlah kerja besar telah berhasil dijalankan oleh kementerian ini.  Diantaranya adalah pelestarian belasan rumah adat di sejumlah daerah tanah air melalui program Pelestarian Kota Pusaka pada tahun 2012 dan 2013.

Terkait dengan upaya pelestarian Rumah Gadang  (RG) atau rumah ada Minangkabau, dirinya berharap, Pemeritah Provinsi, kabupaten/kota perlu lebih kreatif dalam perencanaan dan penataan cagar budaya yang dimulai dengan pendataan dan  merekam semua info yang aa di daerah mereka. “Disamping juga yang tak kalah pentingnya adalah  akurasi data, khususnya untuk rumah dengan catatan rekaman asal usul pendiriannya, sehingga dari sana diketahui mana rumah adat yang masuk kategori budaya mana yang bukan,”, tandasnya dalam dialog virtual yang dipimpin oleh moderator Asfarinal,St Rumah Gadang dari Jaringan Kota Pusaka Indoensia (JKPI) ini.
Semua hal tersebut bisa  dijadikan sebagai platform dan kerjasama yang  terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah agar revitasliasi itu bisa membei nilai baru, dan bernilai tambah, secara ekonomi.

Saat berbicara tentang  asal usul dan jenis rumah gadang narasumber lain menjelaskan, ciri dan bentuk serta jenis-jenis rumah gadang. Menurut Asmudi Hasan, budayawan minang yang juga pegiat pelestarian rumah gadang menyebut ada ciri rumah adat yang bergonjong, dan yang tak bergongjong. “Tak semua rumah bergonjong minang masuk sebagai rumah adat. Tapi setiap rumah adat sudah pasti bergonjong,”ujar eks ASN di Kementerian PU atau yang sekarang menjadi Kementerian PUPR.

“Gonjong di rumah adat mulai dari empat, hingga 14 gonjong. Ada yg bertonggak 16, hingga 40 tonggak, ada yang 3 ruang, hingga 9 ruang.”

Setiap jenis dan ukurannya menggambarkan penghuninya. Rumah Adat gonjong dua dengan atap limas adalah ciri rumah kamanakan, gonjong 4-5 rumah yang dihuni penghulu. Sementara letak tangga masuk, di pinggir,  di tengah, menggambarkan Kelarasan. Sedangkan Rumah Gonjong dengan anjungan di setiap ujungnya, adalah rumah adat yang dihuni dan dimiliki Penghulu Kepala.

Ada juga rumah gonjong yang berfungsi sebagai balai adat. Khusus untuk jenis rumah ini, hanya punya empat gongjong, kecuali  Balai Adat di Pariangan, yang jumlahnya lebih dari empat,  Atau Balai Adat Gajah Maram,  dengan serambi pepat  yang  terdapat di luhak Agam.

Secara keseluruhan, model rumah gadang di tiga luhak menyerupai bentuk kapal laut, sementara kawasan pesisir, lebih mirip pedati atau perahu.

Sementara cerita menarik juga dikemukakan oleh Asnil  Sidi Pangulu Rajo yang memiliki keahlian sebagai tukang ukir rumah gadang.

Menurut Asnil, ada sejumlah tata cara dan prosedur yang harus dilalui saat satu kaum dan masyarakat di minangkabau jika hendak mendirikan rumah gadang. “Prosesi di tiap daerah memiliki perbedaan satu sama lain,”jelas pria  yang berdomisili di Pandai Sikek Kabupaten Agam tersebut.

Setiap proses tersebut harus melibatkan ninik mamak, tuo kampung, ulama dalam tahap pengerjaannya. Mulai dari prosesi “mangayu, atau  pencarian kayu untuk tiang tuo di hutan dengan jenis tertentu seperti jenis kayu kalek, kayu kasang, dan kayu sibusuak. Jenisnya pun harus khusus, seperti jenis kayu kalek yang sudah gugur daun. Setelah ditemui dan dibawa pulang, maka kayu tersebut direndam dalam kolam air selama enam bulan, hingga satu tahun. Setelah itu prosesi angkat kayu, pemahatan tonggak tuo (tiang utama). Lalu upacara cacah pahek ( potong ayam jantan dengan mahkota emas di kepala yang dicacah/lekatkan ke tonggak persegi enam yang jadi tiang utama rumah.

Saat tiang sudah berdiri maka "tonggak tuo" di baluti dengan kain songket pandai sikek. setelah kerangka rumah gadang ini berdiri. Tibalah waktunya memasang atap rumah gadang.  Diadakan lagi musyawarah untuk mencari ijuk untuk atap rumah gadang.  Kemudian ijuk ini akan dipasangkan oleh tukang tuo yang disusun seperti susunan sirih dalam carano. setelah atap terpasang. Diadakan upacara "manaiak rumah" bersyukur atas berdiri nya rumah gadang. dalam upacara ini juga diambil kesepakatan untuk mendindingi rumah gadang dengan ukiran khas Minangkabau.

Ukiran rumah gadang ini tidak serampangan. setiap motif memiliki makna dan tempat masing-masing. tidak boleh asal dipasang. setiap rumah gadang berukir minimal memiliki 21 motif ukiran yang posisinya sudah ditentukan.  “Masa pembangunan rumah gadang itu bisa berlangsung satu hingga 2 tahun”,jelasnya.

Adapun Gregorius  Awal, atau yang akrab disapa Yori Antar menjelaskan pengalamananya tentang proses pendirian kembali rumah gadang di daerah Sumpur, Kabupaten Tanah Datar

Menurutnya rumah adat di Indonesia sangat mudah dipahami, karena disana ada kesatuan budaya, langsung atau tidak antara satu daerah dengan daerah lain.

 Baginya, salah satu penyebab kian susutnya jumlah rumah adat di Indonesia terjadi karena tertinggalnya pengajaran arsitektur nusantara di sekolah atau kampus teknik tanah air karena memang tak dipelajari dan dianggap kuno. Sementara para mahasiswa lebih banyak, belajar tentang peradaban atau bangunan arsitektur luar dan secara perlahan mempengaruhi arsitektur Indonesia,

Hal senada juga diutarakan  pegiat pariwisata Sumatera Barat  YulNofrin  Napilus.  Baginya, banyaknya rumah gadang yang kondisinya tak terawat dan hancur karena tak lagi diperbaiki oleh keluarga pemilik, memang sudah sangatr mengkhawatirkan. Untuk mengatasi itu semua program Saribu Rumah Gadang (SRG) yang sudah berjalan di Kabupaten Solok Selatan bisa ditiru daerah lain. “Dengan program restorasi rumah gadang dan revitalisasi kawasan, rumah gadang tersebut diharapkan bisa menjadi home stay untuk para turis dan wisatawan, dan itu bisa menjadi salah satu cara untuk membiayai perawatan, sekaligus pemasukan untuk masyarakat dan kaum sebagai pemilik rumah gadang tersebut