Amnesty International Kecam Tindakan Represif Terhadap Etnis Papua

BREAKINGNEWS.CO.ID - Amnesty International kembali mendesak agar tindakan refresif dan diskriminatif berbau rasial terhadap warga Papua dihentikan. Pernyataan Amnesty muncul setelah pengepungan asrama mahasiswa dan penahanan 43 pelajar Papua di Surabaya pada akhir pekan lalu. Kejadian ini telah memicu demonstrasi yang berlangsung rusuh di Manokwari dan Jayapura hari ini, Senin (18/9/2019).

Amnesty International Kecam Tindakan Represif Terhadap Etnis Papua

BREAKINGNEWS.CO.ID - Amnesty International kembali mendesak agar tindakan refresif dan diskriminatif berbau rasial terhadap warga Papua dihentikan. Pernyataan Amnesty muncul setelah pengepungan asrama mahasiswa dan penahanan 43 pelajar Papua di Surabaya pada akhir pekan lalu. Kejadian ini telah memicu demonstrasi yang berlangsung rusuh di Manokwari dan Jayapura hari ini, Senin (18/9/2019).

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menyatakan  bahwa penangkapan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya dan kerusuhan di Manokwari serta Jayapura hari ini saling berhubungan. Usmand melihat hal itu telah "memperlihatkan bagaimana aparat negara dan kelompok non-negara melakukan tindakan diskriminatif bernuansa rasial" terhadap warga Papua.

Usman juga menyayangkan sikap polisi yang "membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi" selama penangkapan berlangsung. "Ironisnya, aparat justru ikut mengepung asrama dan melakukan penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan menembakkan gas air mata, mendobrak pintu gerbang asrama dan melakukan penangkapan sewenang-wenang," kata Usman.

Penahanan 43 mahasiswa Papua bermula ketika sekelompok anggota ormas mengepung Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat (16/8/2019) malam. Pengepungan asrama itu dipicu setelah sejumlah foto bendera merah putih yang dirusak di depan asrama beredar di beberapa grup WhatsApp.

Polisi sempat mengimbau masyarakat pengepung untuk mundur. Namun, keesokan harinya, 17 Agustus 2019, polisi mencoba masuk dan melepaskan gas air mata ke dalam asrama tersebut. Setidaknya 43 mahasiswa di dalam asrama itu kemudian diamankan.

Usman menganggap tindakan Polri tersebut melanggar aturan internal seperti, Peraturan Kapolri No 1/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. "Apalagi mengingat mahasiswa dalam asrama tidak melakukan aksi perlawanan atau menyerang aparat yang membahayakan jiwa petugas atau orang lain. Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi di Surabaya. Sayangnya, tidak ada tindakan dari aparat keamanan dan pemerintah setempat untuk menghentikannya," kata Usman.

Usman juga menuturkan pihaknya percaya tindakan represif dan kebencian rasial terhadap orang-orang Papua bisa memicu eskalasi kekerasan dan kekejaman yang akan merugikan warga Indonesia.

Sementara itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui kerusuhan di Manokwari, dipicu insiden penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, dan kejadian di Malang.  Tito menyatakan, apa yang terjadi di Surabaya dan Malang sebenarnya hanya peristiwa kecil. Namun ada oknum tertentu yang memanfaatkan untuk memicu kerusuhan yang lebih besar lagi dengan menyebarkan informasi tak benar atau hoaks di media sosial.

Wali Kota Malang Sutiaji mewakili Pemerintah Kota Malang juga menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas bentrokan yang terjadi pada Kamis (15/8/2019) antara sekelompok warga Kota Malang dengan mahasiswa asal Papua saat akan menyampaikan pendapat di Balai Kota Malang.

Sutiaji mengatakan bentrokan yang terjadi antara sekelompok warga Kota Malang dengan mahasiswa asal Papua tersebut berawal dari kesalahpahaman antara kedua pihak.