73 tahun Hari Film Indonesia kekuatan budaya belum tereksplore

Elshinta.com, Usmar Ismail, adalah sutradara film pertama yang mengenalkan perfilman di Tanah Air lewat filmnya bertajuk `Darah dan Doa` di tahun 1950. Usmar Ismail adalah naungan para bintang Indonesia.

73 tahun Hari Film Indonesia kekuatan budaya belum tereksplore

Diskusi dalam rangka peringatan 73 tahun Hari Film Indonesia di sinema hall Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (28/3/2023) (foto: pri)

Elshinta.com - Usmar Ismail, adalah sutradara film pertama yang mengenalkan perfilman di Tanah Air lewat filmnya bertajuk ' Darah dan Doa' di tahun 1950. Semua arsip perfilman di Tanah Air, ada di gedung Usmar Ismail. Usmar Ismail adalah naungan para bintang Indonesia. Itu yang terlupakan oleh artis artis saat ini. 

Kalimat tersebut menjadi pembuka di gelarnya Hari Film Nasional ke 73 tahun yang disampaikan H. Sonny Pudjisasono, SH, MBA Ketua yayasan pusat Perfilman H Usmar Ismail di sinema hall Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (28/3/2023) diskusi berjalan cukup menarik.

Hadir dalam diskusi film bertajuk ' Film Indonesia Karya Budaya Inspirasi Bangsa' Aktor, Budayawan dan Sutradara,   Slamet Rahardjo. Sutradara, Komika dan Penulis Bene Dion Raja Gukguk. Aktor Pong Harjatmo. Sebagai moderator, Benny Benke, wartawan dan Novelis.

Aktor Slamet Rahardjo yang sudah berpetualang di perfilman Tanah Air selama 50 tahun, banyak memberikan pemandangan positif pada peserta diskusi yang hadir. 

Menurutnya, terjun di dunia perfilman harus menjadi pribadi  tangguh yang tentunya tanpa menapikan keilmuan. Mengangkat tema tema budaya dengan kemasan menarik dan penuh lokal muatan budaya.

"Jadilah diri sendiri. Mengetahui apa yang akan dikerjakan. Seperti Sutradara. Dia harus mengetahui apa yang mesti dilakukan. Sutradara adalah point of viewnya. Jika sutradara tidak memiliki keteguhan keilmuan maka bisa rusak suatu film," ucap Slamat Rahardjo.

Sutradara, Komika dan Penulis Bene Dion Raja Gukguk meneguhkan ungkapan Slamet Rahardjo terkait begitu krusialnya sutradara dalam proses pembuatan film

"Kita harus mengakui, film itu seperti apa? ceritanya apa? Arahnya ke mana? Itu semua ada di tangan Sutradara. Aktor hanya mengikuti arahan sutradara. Begitu juga semua kru mengikuti arahan sutradara. Jadi memang harus kita akui ke mana arah filmnya, yah di tangan sutradara. Bahkan ada produser yang menuntun, tapi pas di lokasi, nggak dilakukan sutradara," ungkap Bene Dion sambil tertawa santai pada Elshinta saat memberi tahu begitu pentingya sutradara dalam proses pembuatan film.

Terkait perfilman Indonesia dibandingkan dengan tahun 1970 hingga 1990-an, Bene Dion yang juga seorang komika, penulis mengungkapkan, kekuatan film berlatar budaya saat ini belum terekspose dengan baik.

"Kalau kita bicara secara garis dari zaman dahulu dan sekarang, dibandingkan mulai dari tahun 1970, 1980 serta tahun 1990, kita harus mengetahui secara kualitas, kita masih jauh, karena itu merupakan puncak kehebatan perfilman Indonesia. Tapi jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu, 15 tahun lalu atau setelah krisis moneter yang sempat mati perfilman  Indonesia, ini adalah proses yang layak di syukuri. Jadi jika dibandingkan dengan tahun 1970 hingga 1990- an, memang kekuatan budayanya belum tereksploitasi, belum tereksplore dengan baik. Tapi jika kita melihat belakangan ini, perfilman kita sudah mulai beragam, mulai dari kontes lokal, konten budaya. Ini harus kita syukuri. Semoga semakin kuat dan kuat, sehingga industri film kita semakin kuat," ujarnya.

Bene Dion berharap dengan adanya Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret ini, ke depannya, semoga perfilman Indonesia semakin Indonesia.

"Semoga industri film Indonesia semakin Indonesia. Jadi filmnya beragam, genrenya beragam, dan penonton juga semakin dewasa. Dan prosesnya memang arahnya baik, film film yang menarik mereka adalah film yang kualitasnya  jauh berkembang dibandingkan beberapa tahun silam," tuntas Bene.(Dd)